Rabu, 19 Oktober 2011

Shalat dan Yang Berhubungan Denganya


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
        Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan.
Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan.agama(Islam).
       Akhir-akhir ini betapa banyak orang yang mengatakan dirinya islam akan tetapi mereka tidak menerjakan amal iabadah yang paling  penting  dalam agama islam, yang mana amal ibadah tersebut sebagai sendi ( tiang ) dari agama islam. Mungkin sebagian dari pada mereka masih sangat awam dengan yang di maksud shalat dalam agama aslam
       Shalat, merupakan perintah Allah yang sangat serius dalam segala urusannya. Mulai dari proses turun perintah akan-nya, peran-nya sebagai tiang penegak agama kita, prosesi persiapannya melalui wudhu yang sarat khasiat dan manfaat, sampai kepada semua bacaan dan gerakan di dalamnya yang bertabur kebaikan di dunia juga kebaikan di akhirat. Mi'raj-nya Rasulullah ke Sidratul Muntaha merupakan simbol dari mi'rajnya setiap pelaku shalat yang sukses melaksanakan shalat-nya dengan khusyu sehingga terbuka tabir antara Allah dengannya. Dan subhanallah, beruntunglah kita yang diberi kesempatan tanpa batas oleh Allah untuk mencoba ber-mi'raj kepadaNya dalam setiap hari yang kita lewati.
B. Rumusan Masalah        
       Untuk membatasi bahasan penulisan dalam permasalahan ini, maka penulis hanya membahas tentang permasalahan yang berhubungan dengan shalat sebagai berikut:
1)      Apa Pengertian, Kewajiban, Hikmah dan Kaifiat dari shalat?
2)      Apa saja syarat dan rukun shalat?
3)      Apa keutamaan serta hokum shalat berjamaah?
4)      Bagaimana pembagian shalat di tinjau dari berbagai aspeknya.
C. Maksud dan Tujuan
      Untuk lebih memahami hal yang berkaitan tentang amal ibadah shalat dan ruang lingkupnya serta menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian, Kewajiban, Hikmah dan Kaifiatnya dari shalat
    a. Pengertian
        Secara etimologi shalat berarti do’a dan secara terminology  para ahli fiqih mengartikan secara lahir dan hakiki. Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam secara umum(baiasanya), yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut rukun dan syarat – syarat yang telah ditentukan.[1] Adapun secara hakikinya ialah “berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, secara yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya” atau “mendahirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan atau dengan kedua – duanya”[2]
      Dalam pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang di dalamnya merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukanmsyara.
       Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah merupakan ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan denga perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara”. Juga shalat merupakan penyerahan diri (lahir dan bathin) kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon ridho-Nya.
b.Kewajiban
       Sebagian dari dalil – dalil tentang diwajibkanya shalat adalah
أَقِيْمُوْا الْصَلَاةَ وَآتُوْا الّزَكَاةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الّرَاكِعِيْنَ
Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang – orang yang ruku.[3]



وَأَقِيْمِ الصَلَاةَ إِنَ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Artinya: Kerjakanlah shalat sesungguhnya shalat itu bisa mencegah perbuatan keji dan munkar.[4]
      Dari ayat – ayat tersebut para ulama sepakat menyatakan bahwa shalat (maktubah) hukumnya wajib untuk dilaksankan bagi tiap-tiap individu.
      Dan masih banyak lagi ayat –ayat alquran yang menyatakan wajibnya kita untuk   mendirikan shalat yang mana bagi penulis merasa dengan dua ayat tersebut sudah cukup untuk membuktikan wajibnya kita melaksanakan amal ibadah shalat.
c. Hikmah
       Setiap allah memerintahkan dan melarang sesuatu perbuatan pada seorang hambanya pasti ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Allah tidak mungkin memerintahkan sesuatu pada seorang hamba yang mana sesuatu itu merugikan  hambanya sendiri.
      Diantara hikmah daripada shalat adalah manfaatnya yang di tinjau dari segi medis dan kesehatan.
1. Manfaat shalat secara umum:
1.   Memperbaiki otot punggung.
2.   Memperbaiki jaringan otot tubuh.
3.   Mengembalikan keseimbangan tubuh pasca bedah tulang.
4.   Menyembuhkan otot/tulang yang terkilir.
5.   Menyehatkan urat nadi dan hati.
6.   Mengurangi resiko tekanan darah tinggi.
7.   Melancarkan saluran pernapasan lewat bacaan shalat.
8.   Memperlancar peredaran darah.
9.   Membuat tulang mampu menyerap lebih banyak kalsium.
10. Membakar lemak di bagian perut.
11. Menghindari proses penuaan dini.
2. Manfaat sujud:
1.   Memperkuat tulang dan otot terutama pada bagian paha, tumit dan kaki.
2.   Mengoptimalkan ketahanan fisik.
3.   Melancarkan peredaran darah.
4.   Mempermudah proses persalinan dan menghindari posisi bayi sungsang pada wanita hamil.
5.   Mencegah kenaikan kadar kolestrol dalam darah.
6.   Memperbaiki fungsi pencernaan.
7.   Sarana latihan pernapasan.
8.   Membersihkan sel darah putih dan sel darah merah.
9.   Menyiapkan diri secara psikologis dalam menghadapi tantagan hidup.
3. Manfaat shalat subuh pada waktunya:
1.   Mengoptimalikan fungsi urat syaraf.
2.   Menenangkan jiwa.
3.   Menjernihkan pikiran.
4.   Awet muda.
4. Manfaat Shalat dari Segi Psikologi:
·      Menjernihkan jiwa.
·      Mencapai kesadaran yang lebih tinggi (altered states of consciousness).
·      Mencapai pengalaman puncak (peak experience).
·      Mengurangi kecemasan lewat:
1.   meditasi/doa yang teratur.
2.   relaksasi dengan gerakan shalat .
3.   hetero/auto sugesti dalam bacaan shalat .
4.   group therapy dalam shalat jamaah, atau bahkan dalam shalat sendiri ada saya dan Allah .
5.   hydro therapy dengan berwudhu.
·      Mengembalikan kesadaran dengan bermi'raj menuju kepada ketinggian Ilahi Rabbi.
·      Melepaskan diri dari pengaruh alam yang lebih rendah.
·      Bertemu Allah.
·      Meringankan ketegangan jiwa.
·      Membuat pelaku shalat mampu meninggalkan pekerjaan yang buruk.
·      Menumbuhkan kedermawanan dan keberanian pada pelakunya.
·      Menumbuhkan sifat saling tolong menolong.
·      Symbol persamaan dan kebersamaan.[5]
5. Manfaat Medis Shalat Tahajjud:
Hadits: shalat tahajjud dapat menghapus dosa, mendatangkan ketenangan, dan menghindakan dari penyakit (HR Tirmidzi).
D. Kaifiat shalat.
       Sebelum kita mengenal dan mempelajari kaifiat shalat terlebih dahulu kita harus megetahui syarat dan rukun dari pada shalat yang mana akan kita bahas.
2. Syarat dan Rukun Shalat
       Untuk melakukan shalat ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dulu, yaitu :
1.      Beragama Islam
2.      Memiliki akal yang waras alias tidak gila
3.      Dewasa / Baligh
4.      Telah sampai dakwah islam kepadanya
5.      Bersih dan suci dari najis, haid, nifas, dan lain sebagainya
6.      Sadar atau tidak sedang tidur
7.      Masuk waktu sholat
8.      Menghadap ke kiblat
9.      Suci dari najis baik hadas kecil maupun besar
10.  Menutup aurat[6]
Dalam sholat ada rukun-rukun yang harus kita jalankan, yakni :
1.      Niat
2.      Posisis berdiri bagi yang mampu
3.      Takbiratul ihram
4.      Membaca surat al-fatihah
5.      Ruku / rukuk yang tumakninah
6.      I'tidal yang tuma'ninah
7.      Sujud yang tumaninah
8.      Duduk di antara dua sujud yang tuma'ninah
9.      Tasyahud akhir
10.  Duduk tatkala membaca tasyahud akhir
11.  Membaca salawat Nabi Muhammad SAW
12.  Salam ke kanan lalu ke kiri
13.  Tertib.[7]
3. Pembagian Shalat .
Shalat dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
     1. Shalat Fardhu, yaitu shalat yang apabila ditinggalkan dengan sengaja, maka pelakunya telah bermaksiat kepada Allah. Dan shalat fardhu ini terbagi menjadi dua macam:
  • Fardhu ‘Ain, yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang baligh dan berakal, baik laki-laki maupun perempuan, seperti shalat lima waktu.
      Batas waktu shalat fardhu
1. Shalat Dzuhur
 Waktunya: ketika matahari mulai condong ke arah Barat hingga bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya dengan benda tersebut.
2. Shalat Ashar
Waktunya: sejak habisnya waktu dhuhur hingga terbenamnya matahari. 3.Shalat Magrib
Waktunya: sejak terbenamnya matahari di ufuk barat hingga hilangnya mega merah di langit.
4. Shalat Is’ya
Waktunya: sejak hilangnya mega merah di langit hingga terbit fajar.
5. Shlat Shubuh
Waktunya : sejak terbitnya fajar (shodiq) hingga terbit matahari.
  • Fardhu Kifayah, yaitu jika sebagian kaum muslimin ada yang melaksa-nakannya, maka kewajiban tersebut telah gugur dari sebagian yang lain seperti shalat mayit.[8]
2. Shalat Sunnah, yaitu shalat yang apabila ditinggalkan dengan sengaja, maka pelakunya tidak berarti melakukan kemaksiatan kepada Allah, seperti shalat sunnah rawatib, shalat witir, dan shalat-shalat lainnya. Tetapi shalat sunnah ini dianjurkan untuk dilaksanakannya, dan dimakruhkan untuk ditinggalkan
Macam-Macam Shalat Sunnah
Shalat sunnah itu ada dua macam:
1. Shalat sunnah yang disunnahkan dilakukan secara berjamaah
2. Shalat sunnah yang tidak disunnahkan dilakukan secara berjamaah
  1. Shalat sunnah yang disunnahkan dilakukan secara berjamaah
    1. Shalat Idul Fitri
    2. Shalat Idul Adha
    3. Shalat Kusuf (Gerhana Matahari)
    4. Shalat Khusuf (Gerhana Bulan)
   5. Shalat Istisqo’
   6. Shalat Tarawih
   7. Shalat Witir yang mengiringi Shalat Tarawih
   Adapun shalat witir di luar Ramadhan, maka tidak disunnahkan berjamaah, karena Rasulullah SAW tidak pernah melakukannya.
  2. Shalat sunnah yang tidak disunnahkan berjamaah
   1. Shalat Rawatib (Shalat yang mengiringi Shalat Fardlu), terdiri dari:
   2. Shalat Tahajjud (Qiyamullail)
   3. Shalat Witir di luar Ramadhan
   4. Shalat Dhuha
   5. Shalat Tahiyyatul Masjid
   6. Shalat Taubat
   7. Shalat Tasbih
   8. Shalat Istikharah
   9. Shalat Hajat
  10. Shalat 2 rakaat di masjid sebelum pulang ke rumah
  11. Shalat Awwabiin
  12. Shalat Sunnah Wudhu’
  13. Shalat Sunnah Mutlaq.[9]



4. Keutamaan shalat berjama’ah serta hukumnya
       Shalat jamaah sangat tinggi nilainya dan sangat besar pahalanya. Dalam sebuah hadist Rasulullah s.a.w. bersabda "Shalat Jamaah lebih utama dua puluh tujuh kali dibanding shalat sendiri" (H.R. Bukhari Muslim). Dalam riwayat lain dikatakan lebih utama dua puluh lima kali dibanding shalat fardlu. Dalam sebuah hadist juga Rasulullah bersabda "Karuniailah mereka yang berjalan dalam kegelapan menuju masjid dengan sinar yang sempurna di hari kiamat" (H.R. Abu Dawud & Trimidzi). Dalam riwayat Utsman Rasulullah s.a.w. bersabda "Barang siapa shalat Isya' dengan berjamaah, maka ia seperti mendirikan shalat selama setengah malam, barangsiapa shalat Subuh berjamaah, maka ia laksana shalat semalam suntuk" (H.R. Muslim dll.)
    Hukum shalat Jamaah menurut mazhab Syafi'i menurut imam Nawawi Fardlu kifayah yaitu apabila tidak ada seorang pun yang mendirikan jamaah dalam satu kampung, maka seluruh kampung mendapatakn dosa. Sedangkan menurut imam Ibnu hajar hukumnya adalah sunnah muakkad.   Mazhab Hanbali bahkan mengatakan shalat jamaah adalah fardlu ain, wajib bagi setiap muslim, karena kuat dan banyaknya dalil yang memerintahkan shalat jamaah. Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan shalat jamaah selain shalat jum'ah hukumnya sunnah mu'akkadah.[10]








BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.      Secara etimologi shalat berarti do’a, secara terminology berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam secara umum(baiasanya)
2.      Para ulama sepakat berpendapat bahwa shalat maktubah wajib dikerjakan bagi tiap-tiap individu dengan syarat dan rukun yang telah di tetapkan .
3.      Shalat mempunyai banyak hikmah yang terkandung di dalamnya, selain untuk mencegah dari perbuatan munkar, ditinjau dari segi medis juga dapat menjaga kesehatan.
4.      Syarat  shalat ada 10(sepuluh) macam
5.      Rukun shalat ada 13 (tiga belas) macam
6.      Fardhu ‘Ain, yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang baligh dan berakal, baik laki-laki maupun perempuan, seperti shalat lima waktu.
7.      Fardhu Kifayah, yaitu jika sebagian kaum muslimin ada yang melaksa-nakannya, maka kewajiban tersebut telah gugur dari sebagian yang lain seperti shalat mayit
8.      Shalat Sunnah, yaitu shalat yang apabila ditinggalkan dengan sengaja, maka pelakunya tidak berarti melakukan kemaksiatan kepada Allah, seperti shalat sunnah rawatib, shalat witir, dan shalat-shalat lainnya. Tetapi shalat sunnah ini dianjurkan untuk dilaksanakannya, dan dimakruhkan untuk ditinggalkan.
9.      Secara garis besar shalat sunah di golongkan menjadi dua:
1.      Shalat sunnah yang disunnahkan dilakukan secara berjamaah.
                  2.   Shalat sunnah yang disunnahkan dilakukan secara berjamaah
    10.  Shalat jamaah sangat tinggi nilainya dan sangat besar pahalanya. Dalam sebuah  nhadist Rasulullah s.a.w. bersabda "Shalat Jamaah lebih utama dua puluh tujuh kali dibanding shalat sendiri" (H.R. Bukhari Muslim).
 11. Menurut mazhab Syafi’i shalat berjama’ah hukumnya fardhu kifayah ( menurut imam Nawawi), sunat muakkad ( menurut imam Ibnu Hajar) dan fardhu ‘Ain menurut mazhab Hambali , sedangkan menurut mazhab Hanafi dan Maliki adalah sunnat muakkad.
B.Kritik Dan Saran

DAFTAR PUSTAKA


1. Al-Qur'an dan terjemahnya
2. Taqriratussadidat Fi Masaili Mufidah. Jakarta , Darul Kutub al-Islamiyah 2007
3. Hasbi Asy Syidiqi, Pedoman Shalat, Bulan Bintang, 1976
4. Imam Basori Assuyuti Bimbingan Shalat Lengkap, Mitra Umat, 1998
5. Syech Abdullah bin Abdurrahman Bafadhol Muqaddimah Al-Hadromiyah. , Arraudho. Malang 2009
6. Al-shobuni Ali. Tasir ayatul ahkam  Bairut darul kutub2002


[1] . Taqriratussadidat Fi Masaili Mufidah. 177
[2] . Hasbi Asy Syidiqi, Pedoman Shalat 97
[3] . Al-Baqarah, 43
[4] . Al –Ankabut : 45

[5] . Imam Basori Assuyuti Bimbingan Shalat Lengkap,150
[6] . Imam Basori Assuyuti Bimbingan Shalat Lengkap,128
[7] . Syech Abdullah bin Abdurrahman Bafadhol Muqaddimah Al-Hadromiyah. 75
[8] . Syech Abdullah bin Abdurrahman Bafadhol Muqaddimah Al-Hadromiyah. 63
[9] . Imam Basori Assuyuti Bimbingan Shalat Lengkap,140
[10] . Al-shobuni Ali. Tasir ayatul ahkam 102

Senin, 10 Oktober 2011

QAWA'ID

BAB I

  PENDAHULUAN
latar belakang

Fiqih islam merupakan system perundang –undangan ideal yang mengatur hubungan antara manusia dan rabb-nya , hubungan antara individu, masyarakat dan antar Negara dalam keadaan damai atau perang yang ditetapkan berdasarkan norma-norma yang bersumber dari kitabullah dan sunnah rasu-Nya

Dalam pengertian ini fiqih islam merupakan warisan berharga dan kekayaan besar yang sangat diperlukan dan tidak boleh di tinggalkan, maupun di sepelekan setatusnya.

Kaidah-kaidah fiqih( qawa’id fiqhiyyah ) merupakan instrument yang membantu seorang faqih untuk memahami masalah-masalah partikular dan masalah- masalah yang mirip dan serupa (al-asbah wa an-nazha’ir) didalam seluruh pokok pembahasan fiqih. Kaidah-kaidah ini sangat banyak dan bercabang –cabang Dan dari sinilah seorang mengkaji hukum islam.

Oleh karena itu mempelajari qawa’id fiqhiyyah ini merupakan keniscayaan bagi setiap orang yang menggeluti dunia fiqih, baik pada tataran khusus maupun umum .

Disini penulis akan mengajak pembaca mempelajari satu kaidah yaitu Addararu yuzalu, ini adalah satu kaidah dari sekian banyak kaidah fiqih yang dibahas oleh para ulama, mudah-mudahan hasil dari penulisan ini ada manfa’atnya.

     B. Rumusan Masalah
 Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai,berikut:
Apa konsepsi dari kaidah addararu yuzalu ?
Kaidah-kaidah apa saja yang terlahir dari kaidah pokok di atas?

     C. Tujuan .
            1.   Untuk lebih memahami pembahasan kaidah dengan lebih mendalam.
            2.   Untuk dapat merealisasikan dalam kehidupan.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Konsepsi Kaidah
 الضَّرَارُ يُزَاْلُ(Kemudhoratan itu harus di hilangkan)
Konsepei kaidah ini memberi pengertian bahwa manusia harus di jauhkan dari idhrar       ( tindak menyakiti )baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya pada orang lain.
Kaidah ini dipergunakan para ahli hukum islam dengan dasar argumentatif hadits Nabi saw yang diriwayatkan  dari berbagai jalur tranmisi secara Hasan
لاَ ضَرَرَ وَلَاضِرَاْرَ
Tidak boleh memberi mudarat dan membalas kemudaratan
As Suyuthi berkata banyak dari bab-bab fiqih terealisasi dari kaidah ini .
2. Kaidah-kaidah lain yang terlahir dari kaidah ini ialah:
     الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاْتِ( Darurat itu dapat memperbolehkan yang dilarang  )
Akan tetapi kaidah ini berlaku dengan syarat, kadar dari sesuatu yang di larang itu harus lebih rendah di banding dengan kadar daruratnya.
Contoh beberapa permasalahan yang muncul dari kaidah ini:
Diperbolehkan bagi seseorang yang sangat lapar untuk memakan bangkai.
Diperbolehkan menghilangkan keselek dengan arak.
Diperbolehkan membongkar kembali kuburan yang yang ketika di kubur mayit belum di mandikan atau tidak menghadap kearah qiblat atau di kuburkan di tanah atau dengan kafan yang di ghosob.
Yang dimksud dalam katagori darurat ialah keadaan seseorang yang mana apabila tidak mempergunakan sesuatu ia hampir atau akan binasa baik jiwanya ataupun anggota tubuhnya.
Adapun alasan syara’ dari kadar sesuatu yang dilarang itu harus lebih rendah dari kadar kedaruratan ialah untuk mengecualikan apabila mayat itu ialah mayat seorang nabi maka tidak boleh bagi oarng yang terpaksa untuk memakanya, kerna kadar kehormatan nabi itu lebih besar dan agung menurt pandangan syara’ dari pada keselamatan orang yang terpaksa. Dan masalah, apabila mayat yang telah dikubur belum dikafani maka tidak boleh dibongkar,  dikernakan kehormata mayit lebih besar dari pada mengkafaninya, yang mana tanah yang ada disekitar mayit sudah menjadi pengganti dari pada kafan tersebut.
2.مَا أُبِيْحَ لِلْضَرُوْرَاْةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا(Apa-apa yang diperbolehkan karena darurat harus dikira-kirakan dengan kadar kedaruratnya )
Kaidah ini  sangat erat kaitanya dengan kaidah yang di atas, artinya seseorang yang dapat dispensasi dari kaidah yang di atas tidak boleh sewenang-wenang menmanfaatkan kaidah tersebut, kerna kaidah ini sebagai pembatas dari kaidah di atas. 
Contoh beberapa masalah yang terkait dengan kaidah ini ialah :
Orang yang terpaksa memakan bangkai tidak boleh memakan kecuali hanya sekedarnya saja(untuk menyambung hidup), kecuali dia mempunyai dugaan masih menempuh perjalanan yang sangat jauh.
Boleh mengambil tumbuh-tumbuhan yang haram untuk memberi makan hewan ternak, akan tetapi haram untuk menjual tumbuh-tumbuhan itu untuk kebutuhan lain.
Di maaf bangkai yang tidak mempunyai darah yang mengalir yang terlempar kedalam air, akan tetapi tidak dima’af apabila dilempar dalam keadaan disengaja.

3.الضَّرَرُلَا يُزَالُ بِالْضَّرَر )Mudarat itu tidak bisa dihilangkan dengan mudarat yang lainya )
Maksudnya ialah seseorang tidak boleh menghilangkan kemudaratan pada dirinya dengan cara memperbuat mudarat pada orang lain.
Contoh permasalahan yang terkait dengan kaidah ini ialah:
Seseorang yang dalam keadaan terpaksa tidak boleh memakan makanan orang lain yang juga dalam keadaan terpaksa.
Seseoarang yang sangat lapar (akan binasa) tidak boleh memotong anggota tubuhnya jika pemotongan tersebut berakibat sama dengan tidak makanya dia.

4. Imam As Suyuthi berkata: Dari kaidah di atas lahir kaidah yang keempat
إِذَاْ تَعَارَضَ مُفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمَهُمَا ضَرَراً بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا  ( Apabila bertentangan dua kerusakan /kemudaratan ditinjau yang paling besar diantara keduanya dengan mengambil yang paling ringan)

Maksudnya apabila suatu pekara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan suatu tindakan bahaya lainya dan salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada yang lainya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan.
Dari kaidah ini lebih lanjut lahir sejumlah kaidah turunan dalam persoalan –persoalan mikro antara lain: Diperbolehkan memenjarakan seorang ayah jika ia menolak memeberi nafkah kepada anaknya, Namun si ayah tidak dapat di penjarakan jika ia terlilit hutang pada anaknya dalam hal selain nafkah, Hal itu dikarenakan penolakannya untuk memberi nafkah kepada anak akan mengakibatkan kematian si anak, dan ini jelas merupakan bahaya yang lebih besar dari pada kerugian memenjarakanya, sehingga bahaya tesebut dapat dihilangkan dengannya.Contoh lainnya ,kebolehan membedah perut mayat seorang perempuan untuk mengeluarkan bayi yang di kandungnya apabila ada kemungkinan bayi tersebut masih hidup.
5.دَرءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ  (Menolak kerusakan lebih didahulukan dari pada menarik kebaikan ) Artinya apabila terjadi pertentangan antara kerusakan dan kebaikan, maka harus didahulukan mencegah kerusakan .
Contoh permasalahan yang terkait dengan kaidah ini ialah:
Disyari’atkan boleh terlambat dari sholat berjama’ah dan jum’at dengan sebab sakit, takut dll.
Diperbolehkan berbohong ketika dapat membawa kamaslahatan seperti memperbaiki hubungan antara dua orang yang bertikai atau diantara suami istri.
Menurut As Suythi, sebenarnya kaidah ini kembali pada kaiadah sebelumnya( Diambil mudarat yang lebih ringan di antara dua mudarat.

      6.اَلحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ اْلضَرُوْرَةِ عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً (Kebutuhan dapat menempati posisi darurat, baik yang bersifat umum maupun khusus) Dalilnya adalah kebolehan transaksi slm. Mengingat praktik slm dibutuhkan dalam masyarakat, maka ia pun ditempatkan diposisi darurat, meskipun bertentangan dengan qiyas lantaran termasuk kategori jual beli barang yang tidak ada saat transaksi. Asy-Syar’I telah memberi rukhshoh(keringanan) didalamnya, meski pada dasarnya jual beli seperti ini tidak sah.

BABIII
PENUTUP
Kesimpulan.
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan :
1.    Mudarat harus dihilangkan dan manusia tidak boleh berbuat mudarat pada orang lain.
2.    Kaidah turunan yang muncul Antara lain
1)    الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاْتِ
2)    مَا أُبِيْحَ لِلْضَرُوْرَاْةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
3)    الضَّرَرُلَا يُزَالُ بِالْضَّرَر
4)    إِذَاْ تَعَارَضَ مُفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمَهُمَا ضَرَراً بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا 
5)    دَرءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ
6)    اَلحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ اْلضَرُوْرَةِ عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً
 B. Kritik dan Saran.



DAFTAR PUSTAKA

1.Abdullah bin Sa’ad ‘ubbadi al-lahji, 2002 Idhohul qawaidil fiqhiyyah. Surabaya.
Al-hidayah
2.Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof.Dr, 2009 Qawaid Fiqhiyyah, Jakarta , Amzah
3.Nashr Farid Muhammad Washil, Prof.Dr. 1999 Al-Madkhalu Filqawaidil Fiqhiyyah wa astaruha fil Ahkami As-Syar’iyyah Surabaya .Al-hidayah


    

FI'IL MU'TAL

BAB I
Wacana
صلاح الدين الأيوبي
منذ حولي تسعمائة سنة, هجم الصلبيون من بلاد اوروبية كثيرة على الدولة الاسلامية, فقتلوا النساء و الاطفال والشيوخ, واحتلوا الشام وفلسطين  وبيت المقدس, واقاموا دولة هناك. ومرت سنوات طويلة على هذا الاحتلال والمسلمون يفكرون في طريقة يتخلصون بها من عدوهم
ورأى صلاح الدين الظلم الذي يعيش فيه المسلمون, فصمم على ان يقوم بهذا الامر فأخذ يطوف بالبلاد الاسلامية ويدعو الناس للجهاد في سبيل الله و طرد هؤلاء المحتلين.
واستطاع صلاح الدين ان يجمع عددا كبيرا من المجاهدين من الشباب والكبار وكون جيشا عظيما ساروا به إلى فلسطين واقام معسكره بالقرب من حطين استعدادا للقاء الاعداء .
وفي يوم شديد الحرارة هجم جيش صلاح الدين على جيوش الصليبيين الكثيرة العدد في معركة قوية كتب الله فيها النصر للمسلمين وتخلصت البلاد الاسلامية من الصليبيين وعاد اليها الامن والسلام وعادت كذلك الصلاة في المسجد الاقصى بفضل هذا القائد العظيم.

Artinya      :

Shalahuddin Al-Ayyubi

        Sejak sekitar sembilan ratus tahun, pasukan salib dari beberapa negri eropa menyerang kerajaan islam. Mereka membunuh wanita-wanita, anak-anak kecil dan orang-orang tua. Mereka menempati/menguasai negri syam, palestina dan baitul maqdis dan mendirikan kerajaan disana.
Setelah penguasaan ini lewat beberapa tahun yang lama. Orang muslim mulai memikirkan cara agar mereka bisa bebas dari musuh mereka tanpa faidah.
         Shalahuddin melihat kegelapan yang menimpa kehidupan kaum muslimin. Kemudian dia mengambil keputusan untuk tegak mengurus urusan ini dan mulai berkeliling dinegri islam dan mengajak orang-orang untuk berjuang dijalan allah serta mengusir para penjajah itu.
Dan shalahuddin mampu mengumpulkan para pejuang dalam jumlah besar dari para pemuda dan orang tua. Dan membuat pasukan yang besar untuk pergi ke palestina dan mendirikan markas didekat perbatasan untuk bersiap-siap menghadang musuh.
         Pada suatu hari yang sangat panas pasukan shalahudin menyerang pasukan salib yang berjumlah banyak dipeperangan yang kuat. Disitulah allah telah menetapkan kemenangan terhadap kaum muslim sehingga negri-negri islam bebas dari pasukan salib. Dan kembali aman dan selamat. Dan kembali melaksanakn shalat di masjid aqsha dengan sebab panglima yang hebat ini

BAB II
PENJELASAN


A. Pengertian
   
             Fi’il mu’tal adalah fi’il yang salah satu huruf asalnya berupa huruf ‘ilat (و,ا,ي)  sebagaimana yang dikatakan dalam kitab Al-Kailani .

المعْتَلُّ هُوَ مَا اَحَدُ اُصُوْلِهِ حَرْفُ عِلّةٍ وَهِيَ اْلوَاوُ وَ الاَلِفُ وَاْليَاءُ
B. Macam-macam Fi’il Mu’tal

            Fi’il mu’tal dibagi menjadi tujuh macam yaitu :

Mu’tal Fa ) ( المعْتَلُ اْلفَاْءُ yaitu fi’il yang mana pada fa fi’ilnya saja berupa huruf ‘ilat seperti (وَعَدَ (atau bisa disebut bina Mitsal ( المِثَاْلْ ) disebut Bina Mistal karena menyerupai fi’il syahih dalam penggunaan harakat.
       Contoh : (وَعَدَ – وُعِدَ , يَسَرَ – يُسِرَ) sama seperti kita mengatakan (نَصَرَ-  نُصِرَ  )

Mu’tal ‘Ain (المُعْتَلْ اْلعَيْنْ ) yaitu fi’il yang ada huruf ‘ilat pada ‘ain fi’ilnya(و,ا,ي)
atau bisa di sebut ajwab ( اَلْأَجْوَاْف ) dikarenakan tidak adanya huruf shohih ditengah lafazh( pada ‘ain fi’il) atau kerna tidak menggunakan harokat pada’ain fi’ilnya.
Contoh : بَاْعَ , صَاْنَ Asalnya بَيَعَ,صَوَنَ

Mu’tal Lam(المعْتَلُ اْلَّامْ  )yaitu fi’il yang mana pada lam fi’ilnya berupa huruf ‘ilat       ( ا,و,ي)
Contoh :, رَمَى    غَزَا  asalnya غَزَوَ,رَمَيَ
Atau biasa disebut Naqis ( النَّاْقِصْ ) karena huruf pada fi’il tersebut menjadi kurang ketika jazam atau karena kurangnya harakat ketika rafa’ sebagaimana contoh di atas. Dan bisa juga disebut dzul arba’ah ( ذُوْ اْلاَرْبَعَةِ ) karena keadaan fi’il madhinya menjadi empat huruf bersama domir.
Contoh : غَزَوْتُ , رَمَيْتُ 

Mu’tal ‘Ain dan Lam yaitu fi’il yang ‘Ain dan lam fi’ilnya berupa huruf ’ilat atau bisa juga disebut Lafif Maqrun ( اللَفِيْفُ اْلمقْرُوْن ) dikarenakan berkumpulnya dua huruf ‘ilat yang bergandengan.
Contoh : شَوَى- يَشْوِيْ , قَوِيَ- يَقْوَى 

Mu’tal Fa dan Lam yaitu fi’il yang terdapat huruf ‘ilat pada fa fi’il dan lam fi’ilnya. Atau biasa disebut lafif mafruq ( اَلْمَفْرُوْقُ )  Dikarenakan berkumpulnya dua huruf ‘ilat dalam keadaan terpisah. Contoh : وَقَى -  يَقِيْ , وَفَى - يَفِيْ
Adapun adanya perubahan penggantian huruf diatas seperti  صَوَنَ menjadi صَاْنَ kerna berdasarkan Kaidah I’lal : (Apabila huruf ‘ilat berharokat fathah dan terletak setelah huruf yang berharokat maka huruf tersebut harus diganti dengan alif .)



BAB III
A. Kesimpulan.
Fi’il mu’tal adalah fi’il yang salah satu huruf asalnya berupa huruf ‘ilat.
Huruf-huruf “ilat Yaitu  ا, و, ي
Fi’il mu’tal terbagi pada tujuh macam yaitu :
1.    Mu’tal Fa ) ( المعْتَلُ اْلفَاْء atau bisa disebut bina Mitsal( ( المِثَاْلْ
2.    Mu’tal ‘Ain( (المُعْتَلْ اْلعَيْنْ atau bisa di sebut Ajwaf ( اَلْأَجْوَاْف )
3.    Mu’tal Lam(المعْتَلُ اْلَّامْ  ) atau biasa disebut Naqis( النَّاْقِص )
4.    Mu’tal ‘Ain dan Lam atau bisa juga disebut Lafif Maqrun( اللَفِيْفُ اْلمقْرُوْن  )
5.    Mu’tal Fa dan Lam atau biasa disebut lafif mafruq ( اَلْمَفْرُوْقُ )
6.    Mu’tal fa dan ‘ain dan (hanya didapati pada isim)
7.    Mu’tal fa ,‘ain dan lam (hanya didapati pada isim)



DAFTAR PUSTAKA

1. ‘Ali bin Hisyam Al-kailani, 2010 Al-kailani.Al-hidayah surabaya.
2. Sayid Ahmad Zaini dahlan, 1995 Majmu’ khamsi rasailiddahlan, Maktabah,     Surabaya. 
3. Al-I’lal Ishtilahi walughowi, 2000. Hidayatul mubtadiin. Lirboyo Kediri

NA'AT


BAB I
PENDAHULUAN
Wacana :

إنك لسيدة نساء أهل الجنة
عن عمران بن حصين رضي الله عنه أنه قال كانت لي من رسول الله منزلة وجاه فقال يا عمران إن لك عندنا منزلة وجاها فهل لك في عيادة فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت نعم بأبي أنت وأمي يا رسول الله فقام وقمت معه حتى وقفت بباب منزل فاطمة فقرع الباب وقال السلام عليكم أأدخل فقالت ادخل يا رسول الله قال أنا ومن معي قالت ومن معك يا رسول الله فقال عمران بن حصين فقالت والذي بعثك بالحق نبيا ما علي إلا عباءة فقال اصنعي بها هكذا وهكذا وأشار بيده فقالت هذا جسدي فقد واريته فكيف برأسي فألقى إليها ملاءة كانت عليه خلقة فقال شدي بها على رأسك ثم أذنت له فدخل فقال السلام عليك يابنتاه كيف أصبحت قالت أصبحت والله وجعة وزادني وجعا على ما بي أني لست أقدر على طعام آكله فقد أجهدني الجوع فبكى رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال لا تجزعي يا بنتاه فوالله ما ذقت طعاما منذ ثلاثة وإني لأكرم على الله منك ولو سألت ربي لأطعمني ولكني آثرت الآخرة على الدنيا ثم ضرب بيده على منكبها وقال لها أبشري فوالله إنك لسيدة نساء أهل الجنة فقالت فأين آسية امرأة فرعون ومريم ابنة عمران فقال آسية سيدة نساء عالمها ومريم سيدة نساء عالمها وخديجة سيدة نساء عالمها وأنت سيدة نساء عالمك إنكن في بيوت من قصب لا أذى فيها ولا صخب ثم قال لها اقنعي بابن عمك فوالله لقد زوجتك سيدا في الدنيا سيدا في الآخرة }احياء علوم الدين ,ج.4,ص.173{

Artinya:
ENGKAU ADALAH
PEMIMPIN WANITA AHLI SURGA

Dari Imron Bin Husein beliau berkata saya mempunyai kedudukan di sisi rasulullah saw . Nabi berkata wahai Imron sesungguhnya engkau mempunyai kedudukan si sisi kami, apakah engkau mau mengunjungi Fathimah binti rasulullah saw? Ku jawab demi ayah dan ibuku aku mau ya rasulullah.
Rasulullah berdiri dan kami berjalan sehingga tiba di pintu fatimah, rasulullah mengetuk pintu dan mengucapkan
  “Assalamu’alaikum  bolehkah aku masuk?”
  “Masuklah wahai rasulullah” jawab Fatimah
  “Saya dan orang yang bersamaku?”kata rasulullah
  “Siapa yang bersamamu ya rasulullah?” 
‘Imron’ sahut rasulullah.
  “Demi zat yang telah mengutusmu dengan kebenaran ya rasulullah, aku tidak     mempunyai apa-apa kecuali hanya sehelai baju kurung”
  “Gunakanlah baju tersebut seperti ini - seperti ini” (Rasulullah sambil   mengisyaratkan dengan tanganya.)
  “Ini untuk badanku, lalu bagaimana dengan kepalaku” jawab Fatimah.
Kemudian rasulullah melemparkan selendang yang lusuh dan berkata
  ‘Tutupkanlah kepalamu dengannya’
  Kemudian Fatimah mengizinkan rasulullah saw untuk masuk. Dan rasulullah berkata
  “Assalamu’alaikum wahai anakku bagaimana pagimu?”
  “Demi allah ya rasulullah ku mulai pagiku dengan sangat lapar dengan apa-apa yang hanya ada padaku, aku tidak dapat menemukan sesuatu yang dapat untuk ku makan sungguh rasa lapar telah menyusahkanku”
Rasulullah saw menangis dan berkata
  “Jangan bersedih wahai anaku, demi allah aku tidak merasakan rasanya makanan semenjak tiga hari , sesungguhnya aku lebih mulia dari pada dirimu dan jikalau aku minta kepada tuhanku niscaya dia akan memberiku makan , akan tetapi aku lebih mengutamakan kehidupan akhirat dari pada kehidupan dunia”
Rasulullah menepuk pundak fatimah dan melanjutkan perkataanya
  “Berbahagialah demi allah engkau adalah pemimpin wanita ahli surga”
  “Lalu dimana asiyah istri Fir’aun dan Mariyam binti Imron” jawab fatimah.
  “Asiyah adalah pemimpin wanita pada alamnya dan mariyam pemimpin wanita pada alamnya dan engkau adalah pemimpin wanita pada alammu, sesungguhnya mereka memiliki rumah dari bambu, didalamnya, mereka tidak mendapatkan gangguan maupun keributan”
Rasulullah terus melanjutkan perkataanya
  “Bersifat qana’ahlah hidup bersama anak pamanmu( Ali Bin Abi Tholib) demi allah sungguh aku telah mengawinkan engkau dengan seorang pemimpin didunia sekaligus pemimpin di akhirat”  ( di intisarikan dari kitab ihya ‘ulumuddin juz 4 hal.173)

BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi
     Na’at adalah     lafazh yang mengikuti pada lafazh yang jatuh sebelumnya { yang lazimnya di sebut dengan matbu’ atau man’ut} untuk menyempurnakan man’utnya tersebut dengan menjelaskan satu dari sifat-sifat lafazh yang ada hubungan denganya.
Sebagaimana imam Ibnu Malik berkomentar didalam alfiyahnya
( فالنعت تابع متم ما سبق ... بوسمه أو وسم ما به أعتلق )
Contohnya: نَجَحَ التِّلْمِيْذُ اْلمُجْتَهِدُ
        Murid yang bersungguh-sungguh itu telah sukses
B Macam –Macam Na’at
     1. Na’at haqiqi
    Na’at haqiqi ialah tabi’ yang menyempurnakan matbu’nya dengan menjelaskan sifat daripada matbu’nya.
Contohnya: طَلَعَ الْبَدْرُ اْلمُنِيْرُ        
        Telah terbit bulan purnama yang bersinar
      2 Na’at sababi
    Na’at sababi ialah tabi’ yang menyempurnakan matbu’nya dengan menjelaskan sifat dari sesuatu yang behubungan dengan matbu’nya
Contohnya:       جَاءَ الَّرجُلُ النَّاجِحُ ابْنُهُ 
        Telah datang seorang laki-laki yang anaknya sukses
C. Faidah Na’at
    1 .Untuk mengkhususkan man’ut jika man’utnya berupa isim nakirah.
Contohnya: مَرَرْتُ بِرَجُلٍ نَشِيْطٍ
            Aku telah melewati seorang laki-laki yang giat
2. Untukmenjelaskan manut jika man’utnya berupa isim ma’rifat.
Contohnya: مَرَرْتُ بِزَيْدٍ الْخَيَّاطِ
          Aku telah melewati zaid yang pekerjaanya menjahit
  3. Hanya semata-mata pujian.
Contohnya: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
           Dengan nama allah yang maha pengasih lagi maha penyayang

 4. Untuk pengertian celaan.
Contohnya: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
         Aku berlindung dengan nama allah dari syaithon yang terkutuk
   5 .untuk mengharap belas kasihan.
Contohnya: اَللَّهُمَّ ارْحَمْ عَبْدَكَ الْمِسْكِيْنَ
         Ya allah kasihanilah hambamu yang miskin
   6. Untuk taukid { menguatkan }
Contohnya: ِتلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
        Yang demikian itu sepuluh hari yang sempurna
D Pembagian Na’at.
    1 . Na’at mufrad.
    Na’at mufrad adakalanya berupa isim musytaq.
Contohnya: أُحِبُّ الطَّالِبَ النَّشِيْطَ
            Aku suka pada penuntut ‘ilmu yang semangat/giat
Adakalanya berupa mashdar
Contohnya: جَاءَ رَجُلٌ عَدْلٌ
            Telah datang seorang laki-laki yang adil
atau berupa isim jamid yang ditakwil dengan musytak.
 Contohnya:
a. Isim isyaroh :    مَرَرْتُ بِالرَّجُلِ هَذَا  
  Akutelah melewati lelaki ini   
b. Isim mausul disertai ال:   جَاءَ الْمُدِيْرُ الَّذِيْ تَقَاعَدَ 
                Telah datang kepala sekolah yang
c. Isim yang dinisbahkan:   شَاهَدْتُ رَجُلاً دِمِشْقِيًّا
                Aku telah melihat seorang laki-laki Damaskus
ذو.d/ ذات yang berma’na yang  صاحب punya:   صَافَحَ رَجُلٌ ذُوْعِلْمٍ امْرَأَةً ذَاتَ فَضْلٍ
Seorang lelaki yang berilmu saling bermushofahah dengan seorang  wanita yang memiliki keutamaan
Yang dimaksud dengan musytak yaitu isim fa’il, maf’ul, shifat musyabahah dan isim tafdhil. Seperti :  الضَّارِبُ , الْمَفْتُوْحُ , حَسَنٌ , اَعْلَمُ/الفاعل, المفعول , فَعَلٌ,اَفْعَلُ
 

  2 . Na’at jumlah.
Na’at jumlah adalah na’at yang berupa jumlah dengan syarat.
    a . Hendaknya ada man’ut berupa isim nakiroh secara lafaz dan ma’na
 Contohnya:  رَأَيْتُ وَلَدًا يَبْكِي
    Aku melihat seorang anak lelaki yang sedang menangis
 atau hanya ma’na bukan lafazh.
Contohnya: وَلَقَدْ أَمُرُّ عَلَى اللَّئِيْمِ يَسُبُّنِيْ
    Sungguh aku akan melewati seorang bejat yang akan mencelaku
    b. Jumlahnya harus berupa jumlah khabariyah .
    c. Tidak disertai/ diiringi  huruf waw, untuk membedakan dengan jumlah haliah.
    d. Didalam jumlah itu mengandung dhomir yang menghubungkan dengan   maushufnya baik secara lafazh
Contohnya: وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ
       Takutlah kalian pada suatu hari yang mana kalian akan dikembalikan kepada allah
atau dikira-kirakan.
Contohnya: وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا
    Takutlah kalian pada hari yang tidak bisa membalas seorang pada yang lainya
    3. Na’at syibhul jumlah.
 Na’at syibhul jumlah ialah yang berupa sibhul jumlah dengan syarat hendaknya kalam telah sempurna.
Contohnya: شَاهَدْتُ تِلْمِيْذًا أَمَامَ الْجَامِعَةِ
Aku melihat seorang mahasiswa didepan kampus
E. Hukum na’at
Jika na’at hakiki maka harus mengikuti man’utnya pada I’rabnya, mufrad, mutsanna, jamanya, muzakkar, muannasnya serta nakiroh ma’rifatnya.
Contohnya: جَاءَ الَّرجُلاَنِ الْعَاقِلاَنِ
    Telah datang dua orang laki-laki yang berakal
Jika na’at sababi maka harus mengikuti man’utnya pada I’rabnya serta ma’rifat dan nakirohnya saja.
Contohnya: جَاءَ الرَّجُلاَنِ الْكَرِيْمُ اَبُوْهُمَا وَالْكَرِيْمَةُ أُمُّهُمَا
Telah datang dua orang laki-laki yang mulia kedua ayahnya dan ibunya



DAFTAR PUSTAKA

Bahauddin Abdullah Bin Abdurrahman bin Aqili. "Syarah ibnu Aqil" 2004 Darul kutub ilmiyah Bairut Libanon
Syamsuddin Muhammad Arrai'ni "Mutammimah Jurumiyah" Alhidayah Surabaya
Much Anwar, Abu Bakar Lc"Terjemah Mutammimah" 2006 Sinar baru Algesindo 
Dr. Amil Badi’ ya’qub “ Mausu’ah nahu was shorof wal i’rob” 1998, Darul ‘ilim lilmalayin

Kamis, 06 Oktober 2011

USHULULFIQH


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

        Para ulama sepakat bahwa tindakan manusia, baik berupa perbuatan maupun ucapan, dalam hal ibadah maupun muamalah, berupa tindakan pidana maupun perdata, masalah akad atau pengelolaan, dalam syariat Islam semuanya masuk dalam wilayah hukum. Hukum-hukum itu sebagian ada yang dijelaskan oleh al Quran dan al Sunnah dan sebagian tidak. Tetapi Syariat Islam telah menetapkan dalil dan tanda-tanda tentang hukum yang tidak dijelaskan oleh keduanya, sehingga seorang Mujtahid seperti adanya hakim,hukum mahkum alaih,dan mahkum fih dengan dalil dan tanda-tanda hukum itu dapat menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tidak dijelaskan tersebut.

B. Rumusan Masalah

       Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka pertmasalahan dapat dirumuskan sebagai,berikut:

1. Apa arti dari Al- Hakim ?
1. Apa arti dari Al-Hukum?
2. Apa arti dari Al- Mahkum ‘Alaih?
3. Apa arti dari Al- Mahkum Fih?

C. Tujuan
1.   Untuk mengetahui apa arti dari Al- Hakim.
2.      Untuk mengetahui apa arti dari Al- Hukum
3.      Untuk mengetahui apa arti dari Al- Mahkum ‘Alaih.
4.      Untuk mengetahui arti dari Al- Mahkum Fih.








BAB II
PEMBAHASAN

1.      HAKIM (Pembuat Hukum Allah SWT)

      Hakim adalah orang yang menjatuhkan putusan. Di antara kaum muslimin tidak ada perbedaan pendapat bahwa sumber hukum syara’ bagi perbuatan mukallaf adalah Allah SWT, baik hukum mengenai perbuatan mukallaf itu telah di jelaskan secara langsung dalam nash yang di wahyukan kepada Rosul-Nya maupun yang di gambarkan kepada para mujtahid untuk mengeluarkan hukum dari tanda-tanda yang di tetapkannya. Oleh karena itu mereka sepakat dalam memberikan pengertian tentang huku syara’ adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan/atau/ketetapan.
      Bila di tinjau dari segi bahasa, Hakim mempunyai dua arti, yaitu :
Pertama : Pembuat Hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber Hukum.
Kedua : Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan.
Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam Ushul Fiqih, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari’at Islam, atau pembentuk hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam Ilmu Ushul Fiqih, Hakim juga di sebut dengan syar’i
      Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa Hakim adalah Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang di titahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT. Baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (Wajib, Sunah, Haram, Makruh, dan Mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum Wadhi’ (Sebab, Syarat, Halangan, Sah, Batal, Fasid, Azimah, dan Rukhsah). Menurut kesepakatan para Ulama’ semua hukum diatas tersebut bersumber dari Allah SWT. melalui Nabi Muhammad Saw, maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori instibath, seperti Qiyas, Ijma’, dan metode Instibath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini para Ulama’ Ushul Fiqih menetapkan kaidah : “Tidak ada Hukum, kecuali bersumber dari Allah”
      Dari pemahaman kaidah tersebut para ulama’ ushul Fiqih mendefinisikan hukum sebagai titah Allah SWT., yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaaf, baik berupa tuntutan, pemilihan, maupun wadhi’.
     Diantara alasan ulama’ ushul fiqih untuk mendukung pernyataan di atas, adalah sebagai/berikut/:
1) Surat Al An’am 57
ان الحكم الا للّة يقصّ الحقّ وهو خير الفاصلين (الانعام:)
"Menetapkan hukum itu hanya Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya, dan Dia pemberi keputusan yang paling baik” (Qs.Al-An’am:57)
2) Surat Al Maidah 44
ومن لم يحكم بما انزل اللّة فاولئك هم الكافرون(المعدة:)
"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir” (Qs.Al-Maidah:44)
3) Surat Al Maidah 49
واحكم بينهم بما انزل اللّة(الماعدة:)
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”
Sedangkan untuk pengertian yang kedua tentang hakim di atas, ulama’ ushul fiqih membedakannya sebagai berikut : (Asy-Syaukani : 7)

• Sebelum Nabi Muhammad Saw diangkat sebagai Rosul .
      Para ulama’ ushul fiqih berbeda-beda pendapatya tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum di utusnya Muhammad sebagai Rosul. Sebagian ulama’ ushul fiqih dari golongan ahlussunah wal jama’ah berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’, sementara akal tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT, dan yang menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’ belum ada.
     Pada saat nabi Muhammad Saw, belum diangkat menjadi Rosul adalahj Allah SWT, namun akal pun sudah mampu untuk menemukan hukum-hukum Allah SWT, dan menyingkap serta menjelaskan sebelum datangnya syara’.
     Dikalangan ulama’ ushul fiqih persoalan yang cukup rumit tersebut di kenal dengan istilah “At-Tahsin Wa Al-Taqbih” yakni pernyataan bahwa sesuatu itu baik/atau/buruk.
• Setelah diangkatnya Nabi Muhammabd Saw, sebagai Rosul dan menyebarkan dakwah/Islam.Para ulama’ ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun dari Allah SWT, yang dibawa oleh Rosulullah Saw, apa yang telah di halalkan oleh Allah SWT, hukumnya adalah halal, begitu pula yang diharamkan oleh Allah SWT, maka hukumnya adalah haram. Juga di sepakati bahwa apa-apa yang di halalkan itu di sebut hasan (baik), di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia. Sedangkan segalka sesuatu yang di haramkan Allah SWT, di sebut Qabih (Buruk), yang di dalamnya terdapat kemadaratan atau kerusakan bagi manusia.
Hakim (yang menetapkan hukum) ialah Allah SWT,dan yang memberitahukan hukum-hukum Allah itu adalah Rasulnya.Kemudian setelah Rasul-rasul dibangkitkan dan sesudah sampai seruanya kepada yang dituju,maka syari’atlah yang/menjadi/hakim.
       Sekarang timbul pernyataan : ” Siapakah yang menjadi hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum Rasul diangkat?” Dalam hal ini ada dua pendapat :
a) Golongan Asy’ariyah oleh Abu Hasan al-Asy’ariyah (874M)
Berpendapat bahwa sebelum dating syara’ tiada hokum terhadap perbuatan mukallaf,,artinya pada masa itu tidak wajib iman dan tidak haram kufur.Firman Allah/SWT
وماكنّ معذّ بين حتّي نبع رسولا (الاسرائ:17 )
" Dan kami tidak pernah atau akan menyiksa sehingga mengutus Rasul lebih duhulu”
b) Golongan Mu’tazilah oleh Wasil bin ‘Atha’(700-1049M)
Berpendapat bahwa sebelum Rasul dibangkitkan akallah yang memberitahukan hukum-hukum Allah.Dengan akallah dapat diketahui baik dan buruknya suatu perbuatan atau sifat-sifatnya.Karena akallah setiap mukallaf wajib mengerjakan sesuatu yang baik dan meninggalkan yang buruk.Allah akan memperhitungkanya sebagaimana memperhitungkan yang diperoleh dari syara’.Mereka beralasan dengan firman/Allah:
قل لا يستوى الخبيثوالطّيب(الماعدة:)
“Katakanlah!Tidak sama yang buruk dengan yang baik meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu”
       Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa Allah akan membalasnya berdasarkan apa yang diketahui oleh akalnya tentang baik dan buruk,sebagaimana juga berdasarkan syari’at yang dibawa utusan-utusa-Nya.Kalau tidak demikian orang-orang yang baik dan jahat sama saja balasanya ,sedang tiap-tiap masa tentu terdapat orang-orang yang baik dan jahat.Andaikata mereka yang baik dan yang jahat dianggap sama dan akan menerima balasanya yang sama diakhirat maka tidak ada keadilan,sedangkan Allah maha adil dan bijaksana.
2        PENGERTIAN HUKUM
Pengertian Hukum  bisa ditinjau dari tiga aspek, yaitu:
  1. Hukum menurut bahasa yang berarti: mencegah dan memutuskan.
  2. Hukum menurut istilah Ushuliyun, yaitu: Firman Allah swt (nash) yang berhubungan dengan perbuatan manusia baik yang bersifat tuntutan, pilihan ataupun kondisional.
  3. Hukum menurut Fuqaha, yaitu: efek dari penerapan firman Allah (nash) yang menghasilkan mubah, wajib, sunat, haram dan makruh.
      Yang dimaksud dengan Firman Allah pada dasarnya adalah Al-qur’an dan Sunnah, karena kedua sumber inilah yang menjadi sumber bagi dalil-dalil syar’i  yang lainnya.
     Ada dua aspek penting yang harus dipahami dari pengertian hukum menurut Ushuli yaitu:
  1. Tidak termasuk hukum Firman Allah yang tidak berhubungan dengan perbuatan manusia, seperti:
1.      Firman Allah tentang zat dan sifatnya, seperti: والله بكل شيئ عليم
2.      Firman Allah yang berhubungan dengan penciptaan makhluk-makhluk tidak berakal, seperti: والشمس و القمر و النجوم مسخرات بأمره
3.      Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia namun dalam Firman tersebut tidak mengandung tuntutan, pilihan, syarat, sebab dan penghalang. Contohnya firman Allah:
                لم غلبت الروم فى أدنى الأرض وهم من بعد غلبهم سيغلبون فى بضع سنين.
  1. Menurut Ulama Ushul yang dimaksud dengan hukum adalah nash syara’ itu sendiri,. Sebagai contoh Firman Allah swt: و أقيموا الصلاة Menurut Ulama Ushul firman inilah yang dikatakan dengan hukum. Sedangkan menurut Fuqaha hukum disini adalah shalat itu wajib.
     Dengan demikian, apa yang disebut hukum dalam pembahasan ini adalah teks ayat-ayat ahkam dan teks hadist ahkam dan dari sini jelaslah kita lihat bahwasanya fiqh bersifat praktis dan ushul fiqh bersifat teoritis.

2.1  . Pembagian Hukum Syara’.
Hukum syar’i terbagi kepada dua:
a.       Hukum Taklifi.
     Hukum Taklifi adalah: Ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf baik perintah, larangan ataupun kebebasan untuk melakukan atau meninggalkan.
b.      Hukum Wadh’i.
     Hukum wadh’i adalah: Ketentuan-ketentuan ataupun kondisi yang membuat sesuatu menjadi sebab bagi hukum yang lain, syarat ataupun penghalang.


2.2. Perbedaan antara Hukum taklifi dan wadhi’.
Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan atau pilihan antara keduanya bagi seorang mukallaf.Sedangkan Hukum wadhi’ tidak mengandung ketiga unsur yang ada dalam hukum taklifi.
Hukum wadh’i hanya penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi baik berupa sebab, syarat ataupun mani’ sehingga mukallaf mengetahui kapan ditetapkannya hukum syara’ dan kapan pula berakhirnya.
      Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat Islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab bagi wajibnya seorang mukallaf menunaikan shalat zuhur.
v     Perbuatan dalam hukum taklifi adalah perbuatan yang mampu untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, dengan kata lain perbuatan dalam hukum taklifi selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf, karena tujuan dari taklif adalah terlaksananya perbuatan tersebut. Dan dalam hal ini berlaku kaidah:
                لا تكليف إلا بمقدور
v     Hukum wadh’i baik sebab, syarat, dan mani’ yang berada dalam kemampuan manusia. Misalnya, mencuri sebab dipotongnya tangan. Saksi syarat sahnya nikah. Membunuh penghalang mendapatkan warisan.
v     Hukum wadh’i yang di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas manusia. Misalnya, tergelincir matahari sebab wajibnya shalat, baligh syarat untuk bisa mengelola harta, gila pengahalang atas pembebanan syariat.
2.3. Pembagian Hukum Taklifi.
  1. Pembagian hukum taklifi menurut Jumhur.
         1. Ijab    2. Tahrim     3. Nadb      4. Karahah     5. Ibahah.
  1. Pembagian hukum taklifi menurut Hanafiyah:
         1. Fardhu   2. Wajib   3. Mandub    4.Haram   5. Makruh Tahrim   6. Makruh Tanzih     7. Mubah.

2.4. Hukum Taklifi.
  1. Pengertian Ijab: Khitab syari’ yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
  1. Ijab
       Efek dari khitab ini disebut wujub dan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan disebut wajib. Jadi, ketika melihat firman dari sisi hakim atau syari’nya maka itu adalah ijab. Dan dilihat dari sisi manusia yang melaksanakan perbuatan maka itu wajib. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa antara wajib dan fardhu sama. Akan tetapi ulama hanafiyah membedakanya.
  1. Perbedaan antara wajib dan fardhu menurut Hananafiyah.
      Fardhu: Jika tuntutan untuk mengerjakan perbuatan berdasarkan dalil-dalil yang qath’i baik al-quran atau pun sunnah mutawattir. Sedangkan wajib: Jika tuntutan untuk mengerjakan perbuatan berdasarkan dalil-dalil yang dhanni, yaitu hadits-hadits ahad.
Misalnya: mengerjakaan shalat lima waktu adalah fardhu, karena berdasarkan dalil qath’i, yaitu:

      Sedangkan membaca al-Fatihah didalam shalat adalah wajib. Karena hanya berdasarkan dalil dhanni. Misalnya: لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب dan membaca ayat al-qur’an adalah fardhu karena bersumber dari dalil qath’i yaitu al-qur’an. Sebagaimana Firman Allah: فأقرءوا ما تيسر من القرأن
      Efek perbedaan antara Fardhu dan Wajib menurut Hanafiyah, sah shalat tanpa membaca fatihah dan batal shalat jika tidak membaca ayat al-qur’an sama sekali.

1.      Definisi wajib
Wajib adalah: suatu ketentuan yang diperintahkan untuk dilaksanakan dan bagi yang meninggalkannya mendapat dosa dan yang menjalankannya berpahala.
   2. Pembagian wajib.
2.1Wajib dari segi Kandungan Perintah.
a. Wajib Mu’ayyan
        Kewajiban dimana yang menjadi objecknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Misalya, kewajiban shalat lima waktu, puasa ramadhan dan zakat. Dan terbebas mukallaf dari kewajiban tersebut dengan melaksanakan perbuatan yang tertentu ini saja.
b.Wajib Mukhayyar.
Kewajiban dimana yang menjadi objecknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sumpah yang boleh dipilih antara memberi makan 10 orang fakir miskin, memberikan pakaian atau memerdekakan budak.
 2.2Wajib dari segi waktu pelaksanaannya.
1.      Wajib Muthlaq.
        Kewajiban yang dapat dilaksanakan tanpa ada batas waktu tertentu. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sumpah, boleh dibayar kapan saja tanpa ada terikat dengan waktu tertentu.
2.      Wajib Muaqqat / Muqayyad.
        Kewajiban yang waktu pelaksanaannya terikat dengan waktu tertentu. Dan wajib ini terbagi kepada 3:
1.      Wajib Muwassa’. Yaitu: waktu yang tersedia untuk mengerjakan perbuatan lebih panjang dari perbuatan itu sendiri sehingga bisa melakukan perbuatan yang lain. . Contohnya Shalat lima waktu. Dan wajib ini dikenal dengan Dharf dikalangan hanafiyah.
2.      Wajib Mudhayyaq. Yaitu: waktu yang tersedia untuk melakukan perbuatan sama panjangnya dengan perbuatan yang dilaksanakan. Misalnya, Puasa.
3.      Dzu Syibhain. Yaitu: kewajiban yang dari satu sisi dilihat muwassa’ dan dari sisi lain juga masuk kedalam katagori mudhayyaq. Misalnya, haji.
3        Wajib ‘ain yaitu:
  Kewajiban yang berhubungan dengan pribadi perorangan.
4        Wajib kifai,yaitu:
Kewajiban yang berhubungan dengan orang banyak.
2. Pengertian Nadb:
Nadb adalah: Anjuran untuk melakukan perbuatan.
     Efek dari Nadb disebut juga dengan nadb dan perbuatan yang dituntut disebut dengan mandub atau sunat.
a.   Perbedaan Mandub dan Sunat menurut Hanafiyah.
b   Wajib dari segi pelaku perbuatan hukum (Mukallaf)

         a.Mandub adalah: Perbuatan yang lebih banyak ditinggalkan oleh Rasulullah daripada dikerjakan. Sunat adalah Perbuatan yang selalu dikerjakan oleh Rasulullah dan Beliau meninggalkan perbuatan itu jika ada uzur.
     Definisi (Sunnat)
     Sunah adalah Perbuatan yang dilakukan oleh Mukallaf berpahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa.
     Pembagian sunnat.
  1. sunnat Muakkad
  2. Sunnat ghairu muakkad
  3. Sunnat Zaidah.

b. Tahrim
Pengertian Tahrim.
   Tahrim adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dengan tuntutan yang tegas.
  1. Efek dari tuntutan tersebut disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan disebut haram atau mahzhur.
  2. Perbedaan antara Tahrim dan Karahah tahrim menurut Hanafiyah.
   Tahrim: larangan yang tegas berdasarkan dalil qath’i, misalnya larangan shalat ketika mabuk. لا تقربوا الصلاة و أنتم سكارى
     Karahah tahrim: Larangan yang tegas berdasarkan dalil dhanni. Misalnya, larangan memakai sutera dan cincin emas bagi laki-laki:
هذان حرام على رجال أمتى حلال لنسائهم

     c. Haram.
Definisi Haram.
   Berpahala bagi yang meninggalkannya dan berdosa yang mengerjakannya.
Pembagian Haram.
   1. Haram Lizatihi
   2. Haram li ‘aridhihi.
d  Karahah
  1. Pengertian Karahah: Larangan untuk meninggalkan perbuatan dengan larangan yang tidak tegas.
  2. Efek dari Larangan tersebut disebut karahah dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan disebut dengan makruh. Karahah ini menurut ulama hanafiyah disebut dengan Karahan tanzih.
     e.    Makruh.
a. Definisi Makruh.
Makruh adalah Berpahala bagi yang meninggalkannya dan tidak berdosa bagi yang meninggalkanya.
b. Pembagian Makruh.
   1. Makruh tanzih
   2. Makruh Tahrim
   3. Tarkul Aula.
      f. Ibahah.
  1. Pengertian Ibahah: Firman Allah yang mengandung pilihan bagi mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkannya.
  2. Efek dari Khitab tersebut disebut Ibahah, dan perbuatan yang mengandung pilihan tersebut disebut dengan mubah, jaiz atau halal.

     g.   Mubah.
a. Definisi Mubah.
Mubah adalah Mengerjakannya atau meninggalkannya sama saja.
b. Pembagian Mubah.
  1. Mubah yang mengantarkan kepada hal yang wajib dilakukan.
  2. Mubah dikarenakan bukan kebiasaan.
  3. Mubah yang mengantarkan kepada sesuatu yang mubah pula.

2.5. Hukum Wadh’i.
    Berdasarkan pengertian hukum wadh’i yang telah dijelaskan diatas maka hukum wadh’i itu pada dasarnya adalah sebab, syarat dan mani’. Akan tetapi Al-Amidi, al-Ghazali, asy-Syatibi dan Khudhari Bik  menambahkan shahih, fasid, ‘azimah dan rukhsah.
1. Sebab.
A Pengertian Sebab.
Sebab menurut bahasa: sesuatu yang bisa menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Dan menurut istilah adalah: sesuatu yang dijadikan oleh syari’at sebagai tanda adanya hukum dimana adanya sebab adanya hukum dan tidak adanya sebab tidak adanya hukum.
B Pembagian Sebab.
  1. Sebab yang merupakan bukan perbuatan mukallaf dan berada diluar kemampuan manusia. Namun demikian, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh mukallaf. Misalnya, masuknya bulan Ramadhan menjadi sebab untuk berpuasa ramadhan.
  2. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan berada dalam batas kemampuan mukallaf. Misalnya, safar merupakan sebab bolehnya berbuka puasa.
    Jumhur Ushuli tidak membedakan antara sebab yang bisa ditelusuri oleh akal (logis) dan sebab yang tidak bias ditelusuri oleh akal. Sedangkan sebagian ulama ushul yang lain membedakannya dan menyatakan bahwasanya sebab adalah sesuatu yang tidak bisa ditelusuri oleh akal, seperti tergelincirnya matahari sebab wajibnya shalat dhuhur. Sedangkan yang bisa ditelusuri oleh akal disebut dengan ‘illat, seperti mabuk sebab tidak bolehnya shalat.
C Pembagian Sebab menurut Hanafiyah.
  1. Sebab waktu, yaitu: waktu menyebabkan adanya hukum. Misalnya, waktu shalat.
  2. Sebab ma’nawi, yaitu: suatu perkara yang menyebabkan adanya hukum. Misalnya, nisab sebab wajibnya zakat.

      2. Syarat.
  1. Pengertian Syarat
      Syarat menurut bahasa adalah tanda-tanda yang mesti ada, sedangkan menurut istilah syarat adalah sesuatu yang membuat tidak adanya hukum tanpa adanya syarat dan tidak semestinya hukum itu ada ataupun tidak dengan adanya syarat dan syarat ini berada diluar dari hakikat perbuatan yang tergantung kepadanya.

     2 Perbedaan antara syarat dan rukun.
     Syarat dan rukun sama-sama menjadi penentu terpenuhinya suatu perbuatan dengan sempurna. Namun keduanya berbeda dari segi:
  1. Rukun merupakan bagian dan hakikat perbuatan sedangkan syarat berada di luar perbuatan tersebut.Misalnya, ruku’ adalah rukun shalat dan merupakan bagian dari dari shalat. Sedangkan wudhu syarat bagi shalat dan bukan merupakan bagian dari shalat.
  2. Syarat harus ada dari awal hingga akhir perbuatan dan rukun berpindah-pindah dari satu ke yang lainnya.
      3. Pembagian syarat.
  1. Syarat dari segi hubungan dengan hukum.
    1. Syarat yang merealisasikan hukum taklifi, misalnya, terpenuhinya haul merupakan syarat wajibnya zakat.
    2. Syarat yang merealisasikan hukum wadh’i. misalnya, muhsan merupakan syarat dirajamnya orang yang berzina.
  2. Syarat dari segi sumbernya.
    1. Syarat Syar’i yaitu syarat yang datang sendiri dari syari’at, seperti, dewasa merupakan syarat wajib untuk menyerahkan harta kepada anak yatim dan ini telah diatur oleh syari’at dalam surat an-nisa’ ayat 6.
    2. Syarat Ja’li yaitu syarat yang datang dari kemauan mukallaf sendiri, seperti, syarat yang dibuat oleh pihak tertentu dalam akad tertentu.
      3. Mani’.
     a. Pengertian Mani’.
     Mani’ menurut bahasa adalah penghalang dari sesuatu. Dan menurut istilah mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syari’at sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
b Pembagian Mani’
  1. Mani’ terhadap hukum. Yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh syari’at yang menjadi penghalang bagi hukum. Seperti, haid bagi wanita yang menjadi mani’ untuk melaksanakan shalat.
  2. Mani’ terhadap sebab. Yaitu suatu penghalang yang ditetapkan oleh syari’at yang menjadi penghalang berfungsinya sebab. Seperti, berhutang menjadi penghalang wajibnya zakat pada harta yang dimiliki.
      4. Sah, Rusak dan Batal.
      Pengertian sah menurut syara’ adalah perbuatan yang dilakukan mempunyai akibat hukum. Dan perbuatan dianggap sah jika memenuhi syarat dan rukun. Adapun batal adalah perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf tidak mempunyai akibat hukum. Jumhur ulama tidak membedakan antara batal dan rusak (fasid). Misalnya, shalat dikatakan batal adalah sama dengan dikataka fasid, yaitu tidak bisa menggugurkan kewajiban. Jumhur ulama hanya membagi amal perbuatan kepada dua hal saja yaitu sah dan batal.
Aliran Hanafiyah membagi perbuatan mukallaf kedalam dua bagian:
  1. Amal perbuatan yang berhubungan dengan ibadat, adakalanya sah dan adakalanya batal. Tujuan yang hendak dicapai disini semata-mata ta’abud.
  2. Amal perbuatan yang berhubungan dengan muamalah mereka membaginya kedalam tiga bagian yaitu sah, rusak dan batal. Dan tujuan yang hendak dicapai disini adalah menciptakan kemaslahatan.

      5. Rukhsah dan Azimah.
  1. Pengertian rukhsah dan azimah.
      Rukhsah adalah suatu hukum yang dikerjakan lantaran ada suatu sebab yang memperbolehkan untuk meinggalkan hukum yang asli. Sedangkan ‘Azimah adalah hukum yang mula-mula harus dikerjakan lantaran tidak ada sesuatu yang menghalang-halanginya.
     Abu Zahrah memasukkan rukhsah dan ‘azimah dalam rangkaian hukum taklifi, dengan alasan bahwasanya salah satu dari konsekuensi hukum taklifi adalah berpindah dari hukum yang haram kepada hukum mubah, atau dari hukum wajib kepada jaiz pada waktu-waktu tertentu. Dan masalah yang dibahas dalam rukhsah dan ‘azimah ini adalah perpindahan dari satu hukum taklifi ke yang lain.
2  Macam-macam Rukhsah.
Rukhsah itu ada beberapa macam antara lain:
  1. Membolehkan hal-hal yang diharamkan disebabkan karena darurat. Misalnya, diperbolehkan makan bangkai bagi orang yang terpaksa.
  2. Membolehkan meninggalkan sesuatu yang wajib karena ada uzur. Misalnya, boleh tidak berpuasa di bulan ramadhan karena sakit atau berpergian.
  3. Memberikan pengecualian-pengecualian dalam transaksi dagang karena dibutuhkan dalam lalu lintas perdagangan. Misalnya, Transaksi salam.
3. MAHKUM ‘ALAIH
       Mahkum Alaihمحكم علية (Subyek hukum) adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara’ (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf (Syafe’I, 2007: 334). Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Ulama’ Ushul Fiqih telah sepakat bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103) yang perbuatannya di kenahi khitab Allah SWT, yang di sebut dengan Mukallaf.
       Dari segi bahasa Mukallaf di artikan sebagai orang yang di bebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqih, mukallaf di sebut juga mahkum alaih (subyek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT, maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang di lakukan oleh mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akherat. Ia akan mendapat pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah Allah SWT, dan sebaliknya, bila mengerjakan larangan-Nya akan mendapat siksa atau resiko dosa karena melanggar aturan-Nya, di samping tidak memenuhi kewajibannya. Dan Mahkum alaih juga diartikan orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal,dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.. Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.Orang gila,orang yang sedang tidur nyenyak,dan anak yang belum dewasa serta orang orang yang terlupa tidak dikenahi taklif (tuntutan),sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:

رفع القلم عن ثلاث عن النا ئم حتى يستيقظ وعن الصّبيّ حتّى يحتلم وعن المجنون حتّى يفيق(رواة ابو داود والنسائ)
“Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat)amal perbuatan tiga orang:Orang yang tidur hingga ia bangun,anak-anak hingga ia dewasa,dan orang gila hingga/sembuh/kembali”
    Demikianlah orang yang terlupa disamakan dengan orang yang tertidur dan tidak mungkin mematuhi asa yang ditaklifkan.
Syarat-syarat Mahkum AlaihØ
o Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain
o Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Koto, 2006: 157-158)
4.      Mahkum Fih
     Mahkum fih محكم فية(yang dibuat hukum) ialah yang dibuat hukum,yaitu perbuatan mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’ (Syukur, 1990: 132). Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya (Sutrisno, 1999: 120).
     Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal (Bardisi dalam Syafe’I, 2007: 317).
      Mahkum fih juga merupakan perbuatan mukallaf yang berhubungan (sangkutan) dengan hokum yang lima,yang masing-masing ialah :
1.      Wajib, yang berhubungan dengan ijab
2. Sunnah, yang berhubungan dengan nadab(mandub)
3. Haram, yang berhubungan dengan tahrim
4. Makruh, yang berhubungan dengan karahah
5. Mubah, yang berhubungan dengan ibahah
       Dari kelima hukum tersebut dapat lah dijelaskan sebagai berikut :
1) Wajib yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat siksa.Wajib dibagi menjadi dua:
a)      Wajib ‘ain : Wajib dikerjakan oleh setiap mukallaf,seperti shalat lima waktu sehari semalaman dan puasa bulan ramadhan.

b) Wajib kifayah : Wajib dikerjakan oleh semua mukallaf,tetapi jika sudah ada diantara mereka yang mengerjakan,lepaslah kewajiban itu dari yang lainnya,seperti menyalati jenazah dan menguburkanya.
2) Mandub(Sunnah) yaitu suatu perkara yang yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan sisa atau dosa.Mandub dibagi menjadi dua:
       a) Sunah ‘ain : Setiap orang dianjurkan mengerjakanya,seperti shalat rawatib dan puasa sunah.
       b) Sunah kifayah : Suatu pekerjaan yang apabila telah dikerjakan oleh seorang dari jamaahnya,tidak perlu lagi orang lain mengerjakannya,misalnya menjawab salam dalam suatu rombongan.
3) Haram yaitu larangan keras,jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
4) Makruh yaitu larangan yang tidak keras,jika dilanggar tidak berdosa,tetapi kalau dikerjakan mendapat pahala,seperti makan petai dan bawang merah.
5) Mubah yaitu sesuatu yang boleh ayau tidak dikerjakan.Kalau dikerjakan atau ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa,misalnya makan yang halal dan berpakaian bagus.


 Syarat-Syarat Mahkum Fih
o Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.
o Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
o Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan:
     1. Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan atau ditinggalkan baik berdasarkan zatnya ataupun tidak.
    2. Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain.
    3. Tidak sah tuntutanyang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
    4.Tercapainya syarat taklif tersebut (Syafe’I, 2007: 320)
     Disamping syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai masalah yang lain sebagaimana berikut:
o Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf.
o Pekerjaan yang tidak akan terjadi, karena telah dijelaskan oleh Allah bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman
o Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan, yaitu yang kesukarannya luar biasa, dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan; dan yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan atau terasa lebih berat daripada yang biasa.
o Pekerjaan-pekerjaan yang diijinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa (Sutrisno, 1999: 121-123).

 Macam-Macam Mahkum Fih
Ditinjau dari keberadaannya secara material dan syara’ diantaranya adalah:
   1. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.
   2. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
   3. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.
     Sedangkan dilihat dari segi hak yang teerdapat dalam perbuatan itu, mahkum fih dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
   1 Semata-mata hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali.
   2. Hak hamba yang tetrkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
   3. Kompromi antara hak allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina.
   4. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tatapi hak hamba didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishas (Syafe’i: 2007)
























BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
       Dari uraian pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1.Hakim (pembuat hukum) yang menurut para ulama ushul fiqih adalah firman Allah yang barhubungan dengan perbuatan orang mukallaf,baik itu berupa tuntutan,pilihan ataupun berupa hukum wadh’i. Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa Hakim adalah Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang di titahkan kepada seluruh mukallaf.
2.Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103) yang perbuatannya di kenahi khitab Allah SWT, yang di sebut dengan Mukallaf.
 Syarat-syarat Mahkum Alaih
• Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain
• Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Koto, 2006)
3.Mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal (Bardisi dalam Syafe’I, 2007: 317).
Syarat-Syarat Mahkum Fih
o Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.
o Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
  Macam-Macam Mahkum Fih
• Ditinjau dari keberadaannya secara material dan syara’ diantaranya adalah:
1. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.
2.      Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
3        Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.
B. Saran
    Adapun beberapa saran yang dapat kami sampaikan yaitu :
1) Agar para pembaca bisa mempelajari makalah yang kami buat dan mengerti isi serta ruang lingkupnya sehingga dapat diambil pelajaran dan diterapkan dalam kehidupan nyata.
2) Semoga para pembaca dapat mengkaji dengan baik dan bisa melengkapi kekurangan makalah yang kami susun.







































DAFTARPUSTAKA

Rifa’i Muhammad. 1973. Ushul Fiqih. Bandung : PT Ma’arief.

Abu Zahrah Muhammad. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta :Pustaka firdaus.

Syafe’i Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung:Pustaka setia.

Wahab khallaf Abdul. 2003. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta:Pustaka amani.

www.Ushul Fiqih.co.id