Senin, 03 Oktober 2011

ILMU TAFSIR


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk bisa berbicara dalam konteks masa dan ruang yang berbeda, maka Al-Qur’an harus difahami dan ditafsirkan oleh para pembacanya. Al-Qur’an bersifat tetap, jika dilihat dari bunyi teks dan proses pewahyuannya. Al-Qur’an telah berhenti, karena pewahyuan sudah berakhir dengan berakhirnya masa kenabian Muhammad. Sementara di sisi lain, masalah-masalah yang timbul dalam lingkungan umat Islam, senantiasa berkembang seiring dinamika zaman. Maka untuk mempertemukan Al-Qur’an dan perkembangan zaman, muncullah disiplin ilmu yang disebut dengan tafsir. Para ulama lalu melakukan upaya-upaya untuk menjadikan Al-Qur’an mampu berbicara pada setiap zaman yang berbeda, melalui aktivitas penjelasan makna-makna Al-Qur’an, dan usaha-usaha itu kemudian dikenal secara luas sebagai tafsir.
Melihat sejarah awal perkembangan tafsir, muncul dua jenis penafsiran al-Qur’an secara estafet, yaitu tafsir bi al-ma’tsur atau disebut juga dengan tafsir bi al-riwayah dan tafsir bi al-ra’yi atau tafsir bi al-dirayah. Untuk meminimalisir perdebatan tentang bentuk kedua jenis tafsir ini, penulis lebih memahami keduanya  tidak sebagai sebagai sebuah metode ataupun corak tafsir melainkan jenis-jenis penafsiran yang muncul dalam sejarah awal usaha pemahaman terhadap al-Qur’an.[1] Makalah ini akan memberikan penjelasan singkat tentang perbedaan tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi.

B. Rumusan Masalah
  Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai,berikut:
1. Apa yang di maksud tafsir bil ma'tsur ?
2. Apa yang di maksud tafsir birra'yi ?

C. Tujuan
1. Untuk lebih memahami pembahasan ilmu tafsir
2. Untuk mengetahui perbedaan tafsir bil ma'tsur dan tafsir birra'yi


BAB II
PEMBAHASAN
A. Tafsir bil-Ma’tsur
Sebelum kita menjelaskan pengertian tafsir bil ma’tsur, alangkah baiknya arti tafsir Itu  sendiri kita pahami. Tafsir dalam disiplin ilmu Al-Quran tidak sama dengan interpretasi teks lainnya; baik itu teks karya sastra maupun teks suatu kitab yang dianggap sebagai kitab suci agama tertentu. Ketika kita membahas tafsir Al-Quran, maka pengertiannya harus merujuk pada pengertian yang sesuai dengan sudut pandang (worldview) Islam. Dalam bahasa Arab, kata tafsir (التفسير) berarti (الإيضاح والتبيين) “menjelaskan”. Lafal dengan makna ini disebutkan di dalam Al-Quran,
وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا 
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik tafsirnya.” (QS Al-Furqan: 33) Maksudnya, paling baik penjelasan dan perinciannya.
           Adapun secara istilah, para ulama mengemukakan beragam definisi mengenai tafsir yang saling melengkapi antara satu definisi dengan definisi lainnya. Imam Az-Zarkasy dalam kitabnya, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qurân, mendefinisikan tafsir dengan:
علمٌ يُفهم به كتابُ الله تعالى المُنَزَّل على نبيّه محمد صلّى الله عليه وسلّم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحِكَمِه
“Ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam, menjelaskan maknanya, serta menguraikan hukum dan hikmahnya.” [2] menurut ibnu manzhur yang di kutip oleh Baidan dalam bukunya ialah membuka dan menjelaskan maksud yang sukar dari suatu lafald.[3]
Sedangkan Ma’tsur berasal dari fiil madhi Atsara yang berarti mengutip (kutipan), menurut ibnu abi bakr  Ma’tsur berarti,  ما نقله خلف من سلف   yaitu sesuatu yang ditransfer oleh khalaf (orang baru) dari salaf (orang terdahulu)[4]. bisa disimpulkan secara Etimologi bisa di artikan Tafsir (keterangan/Ta’wil) bilma’tsur (dengan Kutipan). Namun terdapat perbedaan dalam pengkategorian pendapat tabi’in sebagai tafsir bil-ma’tsur karena ada indikasi bahwa pendapat tabi’in banyak telah terkooptasi oleh akal[5] berbeda dengan pendapat shahabat yang dimungkinkan untuk mengetahui penafsiran suatu ayat berdasarkan petunjuk Nabi. Selain itu shahabat juga menyertai Nabi pada saat turunnya sebagian ayat sehingga mereka lebih mengetahui asbab an-Nuzul sebuah ayat.
Tafsir ini merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah intelaktual Islam. Sedikit sekali terjadi perbedaan pendapat dalam produk-produk penafsirannya. Sebagian besar perbedaan yang ditemukan adalah pada aspek pemahaman redaksional terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Ini disebabkan relativitas kualitas intelektual shahabat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an tersebut[6] sehingga wajar ditemukan perbedaan. Sebagai sebuah contoh dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an, seorang mufassir pada masa itu mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan redaksi mufassir yang lain dan masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang juga berbeda namun maksud semuanya adalah sama. Seperti penafsiran terhadap kata shirat al-mustaqim, sebagian menafsirkannya sebagai al-Qur’an dan sebagian yang lain menafsirkannya dengan Islam. Kedua tafsiran ini berbeda namun senada karena Islam didasari oleh al-Qur’an hanya saja masing-masing penafsiran itu menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh yang lain.
Secara garis besar, penafsiran pada masa ini kukuh beracuan pada aspek riwayat-riwayat yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an karena dianggap sebagai jalan pengetahuan yang benar dan paling aman untuk tetap terjaga dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami al-Qur’an. Namun bukan berarti tidak terjadi ijtihad karena hal ini dapat dilihat dari sumber-sumber kajian tafsir yang digunakan selain al-Qur’an dan Sunnah juga menggunakan Ijtihad shahabat dalam beberapa hal yang mutlak memerlukan ijtihad. Dalam bahasa Quraish Shihab disebut sebagai keterpaksaan melakukan ijtihad karena Nabi telah wafat. Bahkan ditemukan juga riwayat Ahl Kitab Yahudi dan Nashrani[7] yang telah masuk Islam[8] dan hal inilah yang ditengarai sebagai awal kemunculan Isra’iliyyat.
1.      Beberapa Contoh Penafsiran Ayat Pada Tafsir Bilma’tsur
1.      Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran
            Ayat Al-Quran terkadang disebutkan secara global dan ditafsirkan secara rinci pada ayat lain. Demikian juga, ayat yang ringkas ditafsirkan secara lusa pada ayat lain. Contoh penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran adalah firman Allah ta‘ala dalam surat Al-Fatihah: 6-7.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
     Orang-orang yang dianugerahi nikmat kepada mereka ditafsirkan dengan firman Allah ta‘ala,
وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS An-Nisa’: 69)
        Contoh lainnya adalah firman Allah,
فَتَلَقَّى ءَادَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah: 37)
        Beberapa kalimat dalam ayat ini ditafsirkan dalam ayat lainnya, yaitu firman Allah ta‘ala,
قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi’.” (QS Al-A‘raf: 23)
         Penafsiran ini diriwayatkan dari banyak mufassir dari kalangan tabi‘in.
b.  Penafsiran Al-Quran dengan Sunnah.
       Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil perkataan Imam Asy-Syafi‘i, “Setiap hukum yang diputuskan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berasal dari pemahamannya terhadap Al-Quran. Allah ta‘ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللهُ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” (QS An-Nisa’: 105)[15] 
      Contoh penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah di antaranya adalah tafsir al-maghdhûb ‘alaihim (mereka yang dimurkai) dengan Yahudi dan adh-dhâllîn (mereka yang sesat) dengan Nasrani dalam surat Al-Fatihah. Ahmad, At-Tirmidzy, dan Ibnu Hiban dalam Shahîhnya meriwayatkan dari ‘Ady bin Hatim, dia berkata: Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya mereka yang dimurkai adalah Yahudi dan mereka yang sesat adalah Nasrani.”
        Tafsir ini diperkuat dengan firman Allah ta‘ala,
قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللهِ مَنْ لَعَنَهُ اللهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ 
“Katakanlah, ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?’ Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” (QS Al-Maidah: 60)
 (QS Al-Maidah: 77)
            Contoh lainnya adalah tafsir azh-zhulmu (kezaliman) dalam firman Allah ta‘ala,
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al-An‘am: 82)
       Ahmad, Bukhari, Muslim, dan perawi lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, ia berkata, “Tatkala turun ayat ini, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman’, para sahabat merasa keberatan. Mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya?’ Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya artinya bukanlah yang kalian maksudkan. Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba shalih (Lukman), ‘Sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar’. Sesungguhnya kezaliman (yang dimaksud dalam ayat itu) adalah syirik [9]
2.  Perkembangan Tafsir Bilma’tsur Dibagi Menjadi Dua Priode

Tafsir bilma’tsur yang menempati posisi pertama dalam masa penafsiran al-quran dibagi menjadi dua priode
  1. Priode Riwayah
Pada priode ini para sahabat menukil sabda nabi dan para sahabat sendiri dan tabiin untuk menjelaskan tafsir al-quran, dan pengambilan tersebut dilakukan dengan teliti dan waspada demi menjaga keshalehan dan keshohehan Isnad penukilan sehinggadapat menjaga apa yang di ambil.
  1. Priode Tadwin (pembukuan)
Pada Priode ini para sahabat atau tabiin mencatat dan menghimpun penukilannya yang sudah dianggap shaheh setelah diadakan penelitian, sehingga himpunan tersebut membentuk ilmu sendiri.
Sekalipun aliran ini mempunyai banyak kelebihan seperti penafsiran yang mendekati obyektivitas yang didasarkan atas ayat-ayat al-quran dan hadis nabi Muhammad SAW. Tetapi ia juga mempunyai  kelemahan, misalnya adanya cerita Israiliyat yang dianggapsebagai hadits dan hal itu menyesatkan umat, munculnya hadits palsu.
Kelemahan Tafsir bil-ma’tsur
  1. Campur baur antara yang shahih dan yang tidak shahih  serta banyak mengutib kata-kata yang dinisbatkan kepada shahabat atau tabiin tanpa memiliki sandaran dan ketentuan, sehingga menimbulkan percampur adukkan antara hak dan yang bathil.
  2. Di kalangan sahabat ada golongan yang extrim mereka mengambil beberapa pendapat dan membuat-buat kebatilan  yang dinisbatkan kepada sebagian sahabat, misalkan kelompok syi’ah yang fanatic kepada Ali, mereka sering mengatakan hadisnya dari Ali akan tetapi setelah dilakukan penelusuran Ali sendiri tidak pernah mengetahuinya.
  3. Musuh-musuh islam dari orang sindik berusaha mengecoh sahabat dan tabi’in sebagaimana mereka pernah mengecoh Nabi SAW. Hal ini dimaksudkan untuk menghancurkan agama islam dengan jalan menghasud dan membuat hadis. (Ash-Shabuniy, 1991:257)
  4. Banyak ditemukan riwayat Isra’iliyyat yang mengandung dongeng-dongeng yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.[10]
Karya-karya Kitab Tafsir bil-ma’tsur :
  1. Tafsir Ibn Abbas
  2. Tafsir Ibn ‘Uyainah
  3. Tafsir Ibn Abi Hatim
  4. Tafsir Abu Syaikh bin Hibban
  5. Tafsir Ibn ‘Atiyyah
  6. Tafsir Abu Laits as-Samarqandi
  7. Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an
    3. Hukum Tafsir bil-ma’tsur:
Tafsir bil-ma’tsur adalah tafsir yang harus diikuti dan dijadikan pedoman, karena ia adalah jalan pengetahuan yang benar dan merupakan cara paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami Kitabullah.
B. Tafsir bir-Ra’yi
Kata al-Ra’y berarti pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut definisinya, Tafsir bir-ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir[11] setelah terlebih dahulu memahami bahasa dan adat istiadat bangsa Arab. Berijtihad tanpa memperhatikan penjelasan Nabi sebagai mubayyin maupun penjelasan shahabat-shahabatnya. Sekilas hal ini jelas akan berimplikasi negatif pada penyimpulan istinbat terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan karena terkesan sembrono sehingga sebagian ulama menolak tafsir ini bahkan diantaranya ada yang mengharamkan.
Tafsir bir-ra’yi muncul sebagai sebuah jenis tafsir pada periode akhir pertumbuhan tafsir bil-ma’tsur sebagai periode awal perkembangan tafsir. Pada masa ini Islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab dan aliran dikalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk maksud tersebut mereka mencari ayat-ayatal-Qur’an dan Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai keyakinan yang mereka anut.[12]
1. Beberapa Contoh Penafsiran Ayat Pada Tafsir Birra’yi.
Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:


“khalaqal insaana min 'alaq” (Surat Al Alaq: 2)
Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.
2. Pembagian Tafsir bir-ra’yi
  1. Tafsir Mahmud
  2. Tafsir madzmum
a. Tafsir Mahmud: Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.
b. Tafsir al Madzmum: Adalah penafsiran Al Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat.
Contoh Tafsir Al Madzmum:
و من كان في هـذه أعمى فهـو في الآخـرة أعمى و أضـل سبيـلا (الإ ســــراء: 72)
Artinya: “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)”
. (QS, Al Isra’: 72)
Pada ayat ini, sebagian orang bodoh dan tersesat menafsirkan bahwasanya setiap orang yang buta (matanya) di dunia, maka di akhiratpun mereka tetap buta mata, dan akan sengsara dan menderita di akhirat kelak dengan dimasukkannya mereka ke dalam neraka.
Padahal yang dimaksudkan dengan buta dalam ayat ini adalah buta hati dengan dalil firman Allah swt:
فاٍنها لا تعمى الأ بصـار و لكن تعمى القلوب التي في الصـدور (الحـج: 46)
Artinya: “Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (QS, Al Hajj: 46)
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa sebenarnya tafsir bir-ra’yi tidak semata-mata didasari penalaran akal, dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat secara mutlak[13] akan tetapi lebih selektif terhadap riwayat tersebut. Dalam sumber lain Tafsir bir-ra’yi bukan berarti menafsirkan ayat dengan menggunakan akal seluas-luasnya, tetapi tafsir yang didasarkan pada pendapat yang mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab yang bersandar pada sastra jahiliah berupa syair, prosa, tradisi bangsa Arab, dan ekspresi percakapan mereka serta pada berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Rasul menyangkut perjuangan, perlawanan, pertikaian, hijrah, dan peperangan yang beliau lakukan selain itu juga menyangkut berbagai fitnah yang pernah terjadi dan hal-hal yang terjadi saat itu, yang mengharuskan adanya hukum-hukum dan diturunkannya ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi adalah tafsir dengan cara memahami berbagai kalimat al-Quran melalui pemahaman yang ditunjukkan oleh berbagai informasi yang dimiliki seorang ahli tafsir seperti bahasa dan berbagai peristiwa.
Sebagian ulama menerima tafsir ini dengan beberapa syarat yang cukup ketat diantaranya :
(a) menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya
(b) menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an
(c) berakidah yang benar
(d) mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam dan menguasai ilmu yang  berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan[14]
Dengan syarat-syarat tersebut diharapkan tidak ada penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Karya-karya Kitab Tafsir bir-ra’yi :
  1. Tafsir Abdurrahman bin Kaisan al-Asam
  2. Tafsir Abdul Jabbar
  3. Tafsir az-Zamakhsyari, al-Kasyaf ‘an Haqa’iqi Gawamidit Tanzil wa “uyanil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil
  4. Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib
  5. Tafsir an-Nasafi, Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil
  6.   Tafsir al-Jalalain, jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi.
       3. Hukum Tafsir bir-ra’yi al Madzmum:
Menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu dan Ijtihad semata tanpa ada dasar yang shahih adalah haram. Allah berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ (الإ ســــراء: 36)
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS, Al Isra’: 36)
Juga sabda Rasulullah saw:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya: Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempatnya di neraka”.


















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir yang dikenal dengan nama tafsir birriwayah ini (bilma’tsur), sudah mulai antara lain tafsir sufyan bin umayyah, tafsir waki ibnu al-jarrah, tafsir  adam bin abi ilyas dan yang lainnya, kecuali tafsir ibnu jarir yang dikarang oleh Abu ja’far mohammad ibnu jarir yazid ath-thabari (224.H-310.H) beliau juga menerangkan pandangannya tentang pendapat mana yang kuat dari beberapa pendapat yang di kemukakan dan yang ditarjihkan sebagian atas yang lain.
Dapat disimpulkan disimpulkan pada tafsir bilma’tsur terdapat sisi kelemahan dan kelebihan antara lain kelebihan pada tafsir ibnu jarir, diakui oleh para ulama’ bahkan Annawawi dalam tahdzibnya berkata “Kitab ibnu jarir dalam bidang ilmu tafsir, adalah kitab yang tidak ada bandingannya[15], sedangkan sisi kelemahan pada tafsir bilma’tsur  antara lain tercampur baurnya riwayat yang shahih dengan yang tidak shahih, an masuknya kisah-kisah israiliyat.
Tafsir birro’yi terbagi menjadi dua bagian tafsir Mahmud dan Mazhmum. Sebagian ulama menerima tafsir ini dengan beberapa syarat yang cukup ketat diantaranya
(a) menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya
(b) menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an
(c) berakidah yang benar
(d) mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam dan menguasai ilmu yang  berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan[16]
Dengan syarat-syarat tersebut diharapkan tidak ada penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Pada ahir penulisan ini, pemakalah ingat akan suatu ayat dalam surat Al-waqiah:79.
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
Yang di tafsirkan oleh Muhaimin dalam bukunya “bahwa isi kandungan Al-quran tidak akan tidak akan diperoleh seseorang , kecuali dengan ketulusan dan kesucian hati,
B. Kritik dan Saran




DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shabuni Mohammad. Ali. Penerj. Amnuddin, Attibyan fii ulumi quran,(Studi Ulumul Alquran), CV. Pustaka Setia.  bandung,1998
Ash-Shiddieqy Mohammad hasbi, Ilmu-ilmu Al-quran, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2002
Departemen Agama, Al-Quran dan terjemahan, Semarang,1993
Goldziher Ignez, Perjmh,Alaikah Salamullah Mazhab Tafsir Dari Klasik sampai Moderen. eLSAQ Pres Yogyakarta. 2006
Haryono,M.Yudhie, R, Bahasa Politik Al-quran, Mencurigai makna tersembunyi di balik teks, PT.Gugus Press, Bekasi, 2002
Muhaimin, dkk. Kawasan Dan Wawasan Studi Islam Prenada Media. Jakarta, 2005
Suryadilaga, M. Al-fatih dkk. Metodologi ilmu tafsir, Teras, Yogyakarta, 2005
Zuhdi, Masyfuk H. Pengantar Ulumul Quran, CV. Karya Adi Fana, Surabaya, 1993




[1] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002), hlm. 49.

[2] {kamus Al-Mufid)
[3] (Baidan, Nasruddin, 2002,39).
[4] (al-raz, moh. ibnu abi bakr 1973, 5),
[5] Supiana dkk, Ulumul Qur’an dan pengenalan metodologi Tafsir (Bandung: Pustaka Islamika), hlm. 304.
[6] Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I. hlm. 34.
[7] Ibid… hlm. 37.
[8] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Mizan : Bandung, 1996), hlm. 71.

[10] Hasbi ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an (Jakarta: Bulan BIntang, 1972), hlm. 220.
[11] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an… hlm. 488.
[12] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an… hlm. 46.
[13] Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 113 .
[14] Supiana dkk, Ulumul Qur’an dan pengenalan metodologi Tafsir… hlm. 306

[15] (Ash-shiddieqy,2002,227),
[16] Supiana dkk, Ulumul Qur’an dan pengenalan metodologi Tafsir… hlm. 306

1 komentar:

  1. A new mobile casino and sports betting app has emerged - BBC
    Mobile betting, which was launched 영주 출장샵 in May of 강원도 출장샵 last 목포 출장샵 year, is a popular way to bet online with 포항 출장안마 your family and 안성 출장샵 friends. But the new

    BalasHapus