Kamis, 06 Oktober 2011

USHULULFIQH


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

        Para ulama sepakat bahwa tindakan manusia, baik berupa perbuatan maupun ucapan, dalam hal ibadah maupun muamalah, berupa tindakan pidana maupun perdata, masalah akad atau pengelolaan, dalam syariat Islam semuanya masuk dalam wilayah hukum. Hukum-hukum itu sebagian ada yang dijelaskan oleh al Quran dan al Sunnah dan sebagian tidak. Tetapi Syariat Islam telah menetapkan dalil dan tanda-tanda tentang hukum yang tidak dijelaskan oleh keduanya, sehingga seorang Mujtahid seperti adanya hakim,hukum mahkum alaih,dan mahkum fih dengan dalil dan tanda-tanda hukum itu dapat menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tidak dijelaskan tersebut.

B. Rumusan Masalah

       Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka pertmasalahan dapat dirumuskan sebagai,berikut:

1. Apa arti dari Al- Hakim ?
1. Apa arti dari Al-Hukum?
2. Apa arti dari Al- Mahkum ‘Alaih?
3. Apa arti dari Al- Mahkum Fih?

C. Tujuan
1.   Untuk mengetahui apa arti dari Al- Hakim.
2.      Untuk mengetahui apa arti dari Al- Hukum
3.      Untuk mengetahui apa arti dari Al- Mahkum ‘Alaih.
4.      Untuk mengetahui arti dari Al- Mahkum Fih.








BAB II
PEMBAHASAN

1.      HAKIM (Pembuat Hukum Allah SWT)

      Hakim adalah orang yang menjatuhkan putusan. Di antara kaum muslimin tidak ada perbedaan pendapat bahwa sumber hukum syara’ bagi perbuatan mukallaf adalah Allah SWT, baik hukum mengenai perbuatan mukallaf itu telah di jelaskan secara langsung dalam nash yang di wahyukan kepada Rosul-Nya maupun yang di gambarkan kepada para mujtahid untuk mengeluarkan hukum dari tanda-tanda yang di tetapkannya. Oleh karena itu mereka sepakat dalam memberikan pengertian tentang huku syara’ adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan/atau/ketetapan.
      Bila di tinjau dari segi bahasa, Hakim mempunyai dua arti, yaitu :
Pertama : Pembuat Hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber Hukum.
Kedua : Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan.
Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam Ushul Fiqih, sebab berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari’at Islam, atau pembentuk hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam Ilmu Ushul Fiqih, Hakim juga di sebut dengan syar’i
      Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa Hakim adalah Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang di titahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT. Baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (Wajib, Sunah, Haram, Makruh, dan Mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum Wadhi’ (Sebab, Syarat, Halangan, Sah, Batal, Fasid, Azimah, dan Rukhsah). Menurut kesepakatan para Ulama’ semua hukum diatas tersebut bersumber dari Allah SWT. melalui Nabi Muhammad Saw, maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori instibath, seperti Qiyas, Ijma’, dan metode Instibath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini para Ulama’ Ushul Fiqih menetapkan kaidah : “Tidak ada Hukum, kecuali bersumber dari Allah”
      Dari pemahaman kaidah tersebut para ulama’ ushul Fiqih mendefinisikan hukum sebagai titah Allah SWT., yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaaf, baik berupa tuntutan, pemilihan, maupun wadhi’.
     Diantara alasan ulama’ ushul fiqih untuk mendukung pernyataan di atas, adalah sebagai/berikut/:
1) Surat Al An’am 57
ان الحكم الا للّة يقصّ الحقّ وهو خير الفاصلين (الانعام:)
"Menetapkan hukum itu hanya Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya, dan Dia pemberi keputusan yang paling baik” (Qs.Al-An’am:57)
2) Surat Al Maidah 44
ومن لم يحكم بما انزل اللّة فاولئك هم الكافرون(المعدة:)
"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir” (Qs.Al-Maidah:44)
3) Surat Al Maidah 49
واحكم بينهم بما انزل اللّة(الماعدة:)
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”
Sedangkan untuk pengertian yang kedua tentang hakim di atas, ulama’ ushul fiqih membedakannya sebagai berikut : (Asy-Syaukani : 7)

• Sebelum Nabi Muhammad Saw diangkat sebagai Rosul .
      Para ulama’ ushul fiqih berbeda-beda pendapatya tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum di utusnya Muhammad sebagai Rosul. Sebagian ulama’ ushul fiqih dari golongan ahlussunah wal jama’ah berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’, sementara akal tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT, dan yang menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’ belum ada.
     Pada saat nabi Muhammad Saw, belum diangkat menjadi Rosul adalahj Allah SWT, namun akal pun sudah mampu untuk menemukan hukum-hukum Allah SWT, dan menyingkap serta menjelaskan sebelum datangnya syara’.
     Dikalangan ulama’ ushul fiqih persoalan yang cukup rumit tersebut di kenal dengan istilah “At-Tahsin Wa Al-Taqbih” yakni pernyataan bahwa sesuatu itu baik/atau/buruk.
• Setelah diangkatnya Nabi Muhammabd Saw, sebagai Rosul dan menyebarkan dakwah/Islam.Para ulama’ ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun dari Allah SWT, yang dibawa oleh Rosulullah Saw, apa yang telah di halalkan oleh Allah SWT, hukumnya adalah halal, begitu pula yang diharamkan oleh Allah SWT, maka hukumnya adalah haram. Juga di sepakati bahwa apa-apa yang di halalkan itu di sebut hasan (baik), di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia. Sedangkan segalka sesuatu yang di haramkan Allah SWT, di sebut Qabih (Buruk), yang di dalamnya terdapat kemadaratan atau kerusakan bagi manusia.
Hakim (yang menetapkan hukum) ialah Allah SWT,dan yang memberitahukan hukum-hukum Allah itu adalah Rasulnya.Kemudian setelah Rasul-rasul dibangkitkan dan sesudah sampai seruanya kepada yang dituju,maka syari’atlah yang/menjadi/hakim.
       Sekarang timbul pernyataan : ” Siapakah yang menjadi hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum Rasul diangkat?” Dalam hal ini ada dua pendapat :
a) Golongan Asy’ariyah oleh Abu Hasan al-Asy’ariyah (874M)
Berpendapat bahwa sebelum dating syara’ tiada hokum terhadap perbuatan mukallaf,,artinya pada masa itu tidak wajib iman dan tidak haram kufur.Firman Allah/SWT
وماكنّ معذّ بين حتّي نبع رسولا (الاسرائ:17 )
" Dan kami tidak pernah atau akan menyiksa sehingga mengutus Rasul lebih duhulu”
b) Golongan Mu’tazilah oleh Wasil bin ‘Atha’(700-1049M)
Berpendapat bahwa sebelum Rasul dibangkitkan akallah yang memberitahukan hukum-hukum Allah.Dengan akallah dapat diketahui baik dan buruknya suatu perbuatan atau sifat-sifatnya.Karena akallah setiap mukallaf wajib mengerjakan sesuatu yang baik dan meninggalkan yang buruk.Allah akan memperhitungkanya sebagaimana memperhitungkan yang diperoleh dari syara’.Mereka beralasan dengan firman/Allah:
قل لا يستوى الخبيثوالطّيب(الماعدة:)
“Katakanlah!Tidak sama yang buruk dengan yang baik meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu”
       Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa Allah akan membalasnya berdasarkan apa yang diketahui oleh akalnya tentang baik dan buruk,sebagaimana juga berdasarkan syari’at yang dibawa utusan-utusa-Nya.Kalau tidak demikian orang-orang yang baik dan jahat sama saja balasanya ,sedang tiap-tiap masa tentu terdapat orang-orang yang baik dan jahat.Andaikata mereka yang baik dan yang jahat dianggap sama dan akan menerima balasanya yang sama diakhirat maka tidak ada keadilan,sedangkan Allah maha adil dan bijaksana.
2        PENGERTIAN HUKUM
Pengertian Hukum  bisa ditinjau dari tiga aspek, yaitu:
  1. Hukum menurut bahasa yang berarti: mencegah dan memutuskan.
  2. Hukum menurut istilah Ushuliyun, yaitu: Firman Allah swt (nash) yang berhubungan dengan perbuatan manusia baik yang bersifat tuntutan, pilihan ataupun kondisional.
  3. Hukum menurut Fuqaha, yaitu: efek dari penerapan firman Allah (nash) yang menghasilkan mubah, wajib, sunat, haram dan makruh.
      Yang dimaksud dengan Firman Allah pada dasarnya adalah Al-qur’an dan Sunnah, karena kedua sumber inilah yang menjadi sumber bagi dalil-dalil syar’i  yang lainnya.
     Ada dua aspek penting yang harus dipahami dari pengertian hukum menurut Ushuli yaitu:
  1. Tidak termasuk hukum Firman Allah yang tidak berhubungan dengan perbuatan manusia, seperti:
1.      Firman Allah tentang zat dan sifatnya, seperti: والله بكل شيئ عليم
2.      Firman Allah yang berhubungan dengan penciptaan makhluk-makhluk tidak berakal, seperti: والشمس و القمر و النجوم مسخرات بأمره
3.      Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia namun dalam Firman tersebut tidak mengandung tuntutan, pilihan, syarat, sebab dan penghalang. Contohnya firman Allah:
                لم غلبت الروم فى أدنى الأرض وهم من بعد غلبهم سيغلبون فى بضع سنين.
  1. Menurut Ulama Ushul yang dimaksud dengan hukum adalah nash syara’ itu sendiri,. Sebagai contoh Firman Allah swt: و أقيموا الصلاة Menurut Ulama Ushul firman inilah yang dikatakan dengan hukum. Sedangkan menurut Fuqaha hukum disini adalah shalat itu wajib.
     Dengan demikian, apa yang disebut hukum dalam pembahasan ini adalah teks ayat-ayat ahkam dan teks hadist ahkam dan dari sini jelaslah kita lihat bahwasanya fiqh bersifat praktis dan ushul fiqh bersifat teoritis.

2.1  . Pembagian Hukum Syara’.
Hukum syar’i terbagi kepada dua:
a.       Hukum Taklifi.
     Hukum Taklifi adalah: Ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf baik perintah, larangan ataupun kebebasan untuk melakukan atau meninggalkan.
b.      Hukum Wadh’i.
     Hukum wadh’i adalah: Ketentuan-ketentuan ataupun kondisi yang membuat sesuatu menjadi sebab bagi hukum yang lain, syarat ataupun penghalang.


2.2. Perbedaan antara Hukum taklifi dan wadhi’.
Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan atau pilihan antara keduanya bagi seorang mukallaf.Sedangkan Hukum wadhi’ tidak mengandung ketiga unsur yang ada dalam hukum taklifi.
Hukum wadh’i hanya penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi baik berupa sebab, syarat ataupun mani’ sehingga mukallaf mengetahui kapan ditetapkannya hukum syara’ dan kapan pula berakhirnya.
      Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat Islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab bagi wajibnya seorang mukallaf menunaikan shalat zuhur.
v     Perbuatan dalam hukum taklifi adalah perbuatan yang mampu untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, dengan kata lain perbuatan dalam hukum taklifi selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf, karena tujuan dari taklif adalah terlaksananya perbuatan tersebut. Dan dalam hal ini berlaku kaidah:
                لا تكليف إلا بمقدور
v     Hukum wadh’i baik sebab, syarat, dan mani’ yang berada dalam kemampuan manusia. Misalnya, mencuri sebab dipotongnya tangan. Saksi syarat sahnya nikah. Membunuh penghalang mendapatkan warisan.
v     Hukum wadh’i yang di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas manusia. Misalnya, tergelincir matahari sebab wajibnya shalat, baligh syarat untuk bisa mengelola harta, gila pengahalang atas pembebanan syariat.
2.3. Pembagian Hukum Taklifi.
  1. Pembagian hukum taklifi menurut Jumhur.
         1. Ijab    2. Tahrim     3. Nadb      4. Karahah     5. Ibahah.
  1. Pembagian hukum taklifi menurut Hanafiyah:
         1. Fardhu   2. Wajib   3. Mandub    4.Haram   5. Makruh Tahrim   6. Makruh Tanzih     7. Mubah.

2.4. Hukum Taklifi.
  1. Pengertian Ijab: Khitab syari’ yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
  1. Ijab
       Efek dari khitab ini disebut wujub dan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan disebut wajib. Jadi, ketika melihat firman dari sisi hakim atau syari’nya maka itu adalah ijab. Dan dilihat dari sisi manusia yang melaksanakan perbuatan maka itu wajib. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa antara wajib dan fardhu sama. Akan tetapi ulama hanafiyah membedakanya.
  1. Perbedaan antara wajib dan fardhu menurut Hananafiyah.
      Fardhu: Jika tuntutan untuk mengerjakan perbuatan berdasarkan dalil-dalil yang qath’i baik al-quran atau pun sunnah mutawattir. Sedangkan wajib: Jika tuntutan untuk mengerjakan perbuatan berdasarkan dalil-dalil yang dhanni, yaitu hadits-hadits ahad.
Misalnya: mengerjakaan shalat lima waktu adalah fardhu, karena berdasarkan dalil qath’i, yaitu:

      Sedangkan membaca al-Fatihah didalam shalat adalah wajib. Karena hanya berdasarkan dalil dhanni. Misalnya: لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب dan membaca ayat al-qur’an adalah fardhu karena bersumber dari dalil qath’i yaitu al-qur’an. Sebagaimana Firman Allah: فأقرءوا ما تيسر من القرأن
      Efek perbedaan antara Fardhu dan Wajib menurut Hanafiyah, sah shalat tanpa membaca fatihah dan batal shalat jika tidak membaca ayat al-qur’an sama sekali.

1.      Definisi wajib
Wajib adalah: suatu ketentuan yang diperintahkan untuk dilaksanakan dan bagi yang meninggalkannya mendapat dosa dan yang menjalankannya berpahala.
   2. Pembagian wajib.
2.1Wajib dari segi Kandungan Perintah.
a. Wajib Mu’ayyan
        Kewajiban dimana yang menjadi objecknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Misalya, kewajiban shalat lima waktu, puasa ramadhan dan zakat. Dan terbebas mukallaf dari kewajiban tersebut dengan melaksanakan perbuatan yang tertentu ini saja.
b.Wajib Mukhayyar.
Kewajiban dimana yang menjadi objecknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sumpah yang boleh dipilih antara memberi makan 10 orang fakir miskin, memberikan pakaian atau memerdekakan budak.
 2.2Wajib dari segi waktu pelaksanaannya.
1.      Wajib Muthlaq.
        Kewajiban yang dapat dilaksanakan tanpa ada batas waktu tertentu. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sumpah, boleh dibayar kapan saja tanpa ada terikat dengan waktu tertentu.
2.      Wajib Muaqqat / Muqayyad.
        Kewajiban yang waktu pelaksanaannya terikat dengan waktu tertentu. Dan wajib ini terbagi kepada 3:
1.      Wajib Muwassa’. Yaitu: waktu yang tersedia untuk mengerjakan perbuatan lebih panjang dari perbuatan itu sendiri sehingga bisa melakukan perbuatan yang lain. . Contohnya Shalat lima waktu. Dan wajib ini dikenal dengan Dharf dikalangan hanafiyah.
2.      Wajib Mudhayyaq. Yaitu: waktu yang tersedia untuk melakukan perbuatan sama panjangnya dengan perbuatan yang dilaksanakan. Misalnya, Puasa.
3.      Dzu Syibhain. Yaitu: kewajiban yang dari satu sisi dilihat muwassa’ dan dari sisi lain juga masuk kedalam katagori mudhayyaq. Misalnya, haji.
3        Wajib ‘ain yaitu:
  Kewajiban yang berhubungan dengan pribadi perorangan.
4        Wajib kifai,yaitu:
Kewajiban yang berhubungan dengan orang banyak.
2. Pengertian Nadb:
Nadb adalah: Anjuran untuk melakukan perbuatan.
     Efek dari Nadb disebut juga dengan nadb dan perbuatan yang dituntut disebut dengan mandub atau sunat.
a.   Perbedaan Mandub dan Sunat menurut Hanafiyah.
b   Wajib dari segi pelaku perbuatan hukum (Mukallaf)

         a.Mandub adalah: Perbuatan yang lebih banyak ditinggalkan oleh Rasulullah daripada dikerjakan. Sunat adalah Perbuatan yang selalu dikerjakan oleh Rasulullah dan Beliau meninggalkan perbuatan itu jika ada uzur.
     Definisi (Sunnat)
     Sunah adalah Perbuatan yang dilakukan oleh Mukallaf berpahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa.
     Pembagian sunnat.
  1. sunnat Muakkad
  2. Sunnat ghairu muakkad
  3. Sunnat Zaidah.

b. Tahrim
Pengertian Tahrim.
   Tahrim adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dengan tuntutan yang tegas.
  1. Efek dari tuntutan tersebut disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan disebut haram atau mahzhur.
  2. Perbedaan antara Tahrim dan Karahah tahrim menurut Hanafiyah.
   Tahrim: larangan yang tegas berdasarkan dalil qath’i, misalnya larangan shalat ketika mabuk. لا تقربوا الصلاة و أنتم سكارى
     Karahah tahrim: Larangan yang tegas berdasarkan dalil dhanni. Misalnya, larangan memakai sutera dan cincin emas bagi laki-laki:
هذان حرام على رجال أمتى حلال لنسائهم

     c. Haram.
Definisi Haram.
   Berpahala bagi yang meninggalkannya dan berdosa yang mengerjakannya.
Pembagian Haram.
   1. Haram Lizatihi
   2. Haram li ‘aridhihi.
d  Karahah
  1. Pengertian Karahah: Larangan untuk meninggalkan perbuatan dengan larangan yang tidak tegas.
  2. Efek dari Larangan tersebut disebut karahah dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan disebut dengan makruh. Karahah ini menurut ulama hanafiyah disebut dengan Karahan tanzih.
     e.    Makruh.
a. Definisi Makruh.
Makruh adalah Berpahala bagi yang meninggalkannya dan tidak berdosa bagi yang meninggalkanya.
b. Pembagian Makruh.
   1. Makruh tanzih
   2. Makruh Tahrim
   3. Tarkul Aula.
      f. Ibahah.
  1. Pengertian Ibahah: Firman Allah yang mengandung pilihan bagi mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkannya.
  2. Efek dari Khitab tersebut disebut Ibahah, dan perbuatan yang mengandung pilihan tersebut disebut dengan mubah, jaiz atau halal.

     g.   Mubah.
a. Definisi Mubah.
Mubah adalah Mengerjakannya atau meninggalkannya sama saja.
b. Pembagian Mubah.
  1. Mubah yang mengantarkan kepada hal yang wajib dilakukan.
  2. Mubah dikarenakan bukan kebiasaan.
  3. Mubah yang mengantarkan kepada sesuatu yang mubah pula.

2.5. Hukum Wadh’i.
    Berdasarkan pengertian hukum wadh’i yang telah dijelaskan diatas maka hukum wadh’i itu pada dasarnya adalah sebab, syarat dan mani’. Akan tetapi Al-Amidi, al-Ghazali, asy-Syatibi dan Khudhari Bik  menambahkan shahih, fasid, ‘azimah dan rukhsah.
1. Sebab.
A Pengertian Sebab.
Sebab menurut bahasa: sesuatu yang bisa menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Dan menurut istilah adalah: sesuatu yang dijadikan oleh syari’at sebagai tanda adanya hukum dimana adanya sebab adanya hukum dan tidak adanya sebab tidak adanya hukum.
B Pembagian Sebab.
  1. Sebab yang merupakan bukan perbuatan mukallaf dan berada diluar kemampuan manusia. Namun demikian, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh mukallaf. Misalnya, masuknya bulan Ramadhan menjadi sebab untuk berpuasa ramadhan.
  2. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan berada dalam batas kemampuan mukallaf. Misalnya, safar merupakan sebab bolehnya berbuka puasa.
    Jumhur Ushuli tidak membedakan antara sebab yang bisa ditelusuri oleh akal (logis) dan sebab yang tidak bias ditelusuri oleh akal. Sedangkan sebagian ulama ushul yang lain membedakannya dan menyatakan bahwasanya sebab adalah sesuatu yang tidak bisa ditelusuri oleh akal, seperti tergelincirnya matahari sebab wajibnya shalat dhuhur. Sedangkan yang bisa ditelusuri oleh akal disebut dengan ‘illat, seperti mabuk sebab tidak bolehnya shalat.
C Pembagian Sebab menurut Hanafiyah.
  1. Sebab waktu, yaitu: waktu menyebabkan adanya hukum. Misalnya, waktu shalat.
  2. Sebab ma’nawi, yaitu: suatu perkara yang menyebabkan adanya hukum. Misalnya, nisab sebab wajibnya zakat.

      2. Syarat.
  1. Pengertian Syarat
      Syarat menurut bahasa adalah tanda-tanda yang mesti ada, sedangkan menurut istilah syarat adalah sesuatu yang membuat tidak adanya hukum tanpa adanya syarat dan tidak semestinya hukum itu ada ataupun tidak dengan adanya syarat dan syarat ini berada diluar dari hakikat perbuatan yang tergantung kepadanya.

     2 Perbedaan antara syarat dan rukun.
     Syarat dan rukun sama-sama menjadi penentu terpenuhinya suatu perbuatan dengan sempurna. Namun keduanya berbeda dari segi:
  1. Rukun merupakan bagian dan hakikat perbuatan sedangkan syarat berada di luar perbuatan tersebut.Misalnya, ruku’ adalah rukun shalat dan merupakan bagian dari dari shalat. Sedangkan wudhu syarat bagi shalat dan bukan merupakan bagian dari shalat.
  2. Syarat harus ada dari awal hingga akhir perbuatan dan rukun berpindah-pindah dari satu ke yang lainnya.
      3. Pembagian syarat.
  1. Syarat dari segi hubungan dengan hukum.
    1. Syarat yang merealisasikan hukum taklifi, misalnya, terpenuhinya haul merupakan syarat wajibnya zakat.
    2. Syarat yang merealisasikan hukum wadh’i. misalnya, muhsan merupakan syarat dirajamnya orang yang berzina.
  2. Syarat dari segi sumbernya.
    1. Syarat Syar’i yaitu syarat yang datang sendiri dari syari’at, seperti, dewasa merupakan syarat wajib untuk menyerahkan harta kepada anak yatim dan ini telah diatur oleh syari’at dalam surat an-nisa’ ayat 6.
    2. Syarat Ja’li yaitu syarat yang datang dari kemauan mukallaf sendiri, seperti, syarat yang dibuat oleh pihak tertentu dalam akad tertentu.
      3. Mani’.
     a. Pengertian Mani’.
     Mani’ menurut bahasa adalah penghalang dari sesuatu. Dan menurut istilah mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syari’at sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
b Pembagian Mani’
  1. Mani’ terhadap hukum. Yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh syari’at yang menjadi penghalang bagi hukum. Seperti, haid bagi wanita yang menjadi mani’ untuk melaksanakan shalat.
  2. Mani’ terhadap sebab. Yaitu suatu penghalang yang ditetapkan oleh syari’at yang menjadi penghalang berfungsinya sebab. Seperti, berhutang menjadi penghalang wajibnya zakat pada harta yang dimiliki.
      4. Sah, Rusak dan Batal.
      Pengertian sah menurut syara’ adalah perbuatan yang dilakukan mempunyai akibat hukum. Dan perbuatan dianggap sah jika memenuhi syarat dan rukun. Adapun batal adalah perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf tidak mempunyai akibat hukum. Jumhur ulama tidak membedakan antara batal dan rusak (fasid). Misalnya, shalat dikatakan batal adalah sama dengan dikataka fasid, yaitu tidak bisa menggugurkan kewajiban. Jumhur ulama hanya membagi amal perbuatan kepada dua hal saja yaitu sah dan batal.
Aliran Hanafiyah membagi perbuatan mukallaf kedalam dua bagian:
  1. Amal perbuatan yang berhubungan dengan ibadat, adakalanya sah dan adakalanya batal. Tujuan yang hendak dicapai disini semata-mata ta’abud.
  2. Amal perbuatan yang berhubungan dengan muamalah mereka membaginya kedalam tiga bagian yaitu sah, rusak dan batal. Dan tujuan yang hendak dicapai disini adalah menciptakan kemaslahatan.

      5. Rukhsah dan Azimah.
  1. Pengertian rukhsah dan azimah.
      Rukhsah adalah suatu hukum yang dikerjakan lantaran ada suatu sebab yang memperbolehkan untuk meinggalkan hukum yang asli. Sedangkan ‘Azimah adalah hukum yang mula-mula harus dikerjakan lantaran tidak ada sesuatu yang menghalang-halanginya.
     Abu Zahrah memasukkan rukhsah dan ‘azimah dalam rangkaian hukum taklifi, dengan alasan bahwasanya salah satu dari konsekuensi hukum taklifi adalah berpindah dari hukum yang haram kepada hukum mubah, atau dari hukum wajib kepada jaiz pada waktu-waktu tertentu. Dan masalah yang dibahas dalam rukhsah dan ‘azimah ini adalah perpindahan dari satu hukum taklifi ke yang lain.
2  Macam-macam Rukhsah.
Rukhsah itu ada beberapa macam antara lain:
  1. Membolehkan hal-hal yang diharamkan disebabkan karena darurat. Misalnya, diperbolehkan makan bangkai bagi orang yang terpaksa.
  2. Membolehkan meninggalkan sesuatu yang wajib karena ada uzur. Misalnya, boleh tidak berpuasa di bulan ramadhan karena sakit atau berpergian.
  3. Memberikan pengecualian-pengecualian dalam transaksi dagang karena dibutuhkan dalam lalu lintas perdagangan. Misalnya, Transaksi salam.
3. MAHKUM ‘ALAIH
       Mahkum Alaihمحكم علية (Subyek hukum) adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara’ (Syukur, 1990: 138). Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf (Syafe’I, 2007: 334). Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Ulama’ Ushul Fiqih telah sepakat bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103) yang perbuatannya di kenahi khitab Allah SWT, yang di sebut dengan Mukallaf.
       Dari segi bahasa Mukallaf di artikan sebagai orang yang di bebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqih, mukallaf di sebut juga mahkum alaih (subyek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah di anggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT, maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang di lakukan oleh mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akherat. Ia akan mendapat pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah Allah SWT, dan sebaliknya, bila mengerjakan larangan-Nya akan mendapat siksa atau resiko dosa karena melanggar aturan-Nya, di samping tidak memenuhi kewajibannya. Dan Mahkum alaih juga diartikan orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal,dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.. Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.Orang gila,orang yang sedang tidur nyenyak,dan anak yang belum dewasa serta orang orang yang terlupa tidak dikenahi taklif (tuntutan),sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:

رفع القلم عن ثلاث عن النا ئم حتى يستيقظ وعن الصّبيّ حتّى يحتلم وعن المجنون حتّى يفيق(رواة ابو داود والنسائ)
“Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat)amal perbuatan tiga orang:Orang yang tidur hingga ia bangun,anak-anak hingga ia dewasa,dan orang gila hingga/sembuh/kembali”
    Demikianlah orang yang terlupa disamakan dengan orang yang tertidur dan tidak mungkin mematuhi asa yang ditaklifkan.
Syarat-syarat Mahkum AlaihØ
o Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain
o Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Koto, 2006: 157-158)
4.      Mahkum Fih
     Mahkum fih محكم فية(yang dibuat hukum) ialah yang dibuat hukum,yaitu perbuatan mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’ (Syukur, 1990: 132). Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya (Sutrisno, 1999: 120).
     Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal (Bardisi dalam Syafe’I, 2007: 317).
      Mahkum fih juga merupakan perbuatan mukallaf yang berhubungan (sangkutan) dengan hokum yang lima,yang masing-masing ialah :
1.      Wajib, yang berhubungan dengan ijab
2. Sunnah, yang berhubungan dengan nadab(mandub)
3. Haram, yang berhubungan dengan tahrim
4. Makruh, yang berhubungan dengan karahah
5. Mubah, yang berhubungan dengan ibahah
       Dari kelima hukum tersebut dapat lah dijelaskan sebagai berikut :
1) Wajib yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat siksa.Wajib dibagi menjadi dua:
a)      Wajib ‘ain : Wajib dikerjakan oleh setiap mukallaf,seperti shalat lima waktu sehari semalaman dan puasa bulan ramadhan.

b) Wajib kifayah : Wajib dikerjakan oleh semua mukallaf,tetapi jika sudah ada diantara mereka yang mengerjakan,lepaslah kewajiban itu dari yang lainnya,seperti menyalati jenazah dan menguburkanya.
2) Mandub(Sunnah) yaitu suatu perkara yang yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan sisa atau dosa.Mandub dibagi menjadi dua:
       a) Sunah ‘ain : Setiap orang dianjurkan mengerjakanya,seperti shalat rawatib dan puasa sunah.
       b) Sunah kifayah : Suatu pekerjaan yang apabila telah dikerjakan oleh seorang dari jamaahnya,tidak perlu lagi orang lain mengerjakannya,misalnya menjawab salam dalam suatu rombongan.
3) Haram yaitu larangan keras,jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
4) Makruh yaitu larangan yang tidak keras,jika dilanggar tidak berdosa,tetapi kalau dikerjakan mendapat pahala,seperti makan petai dan bawang merah.
5) Mubah yaitu sesuatu yang boleh ayau tidak dikerjakan.Kalau dikerjakan atau ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa,misalnya makan yang halal dan berpakaian bagus.


 Syarat-Syarat Mahkum Fih
o Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.
o Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
o Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan:
     1. Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan atau ditinggalkan baik berdasarkan zatnya ataupun tidak.
    2. Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain.
    3. Tidak sah tuntutanyang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
    4.Tercapainya syarat taklif tersebut (Syafe’I, 2007: 320)
     Disamping syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai masalah yang lain sebagaimana berikut:
o Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf.
o Pekerjaan yang tidak akan terjadi, karena telah dijelaskan oleh Allah bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman
o Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan, yaitu yang kesukarannya luar biasa, dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan; dan yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan atau terasa lebih berat daripada yang biasa.
o Pekerjaan-pekerjaan yang diijinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa (Sutrisno, 1999: 121-123).

 Macam-Macam Mahkum Fih
Ditinjau dari keberadaannya secara material dan syara’ diantaranya adalah:
   1. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.
   2. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
   3. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.
     Sedangkan dilihat dari segi hak yang teerdapat dalam perbuatan itu, mahkum fih dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
   1 Semata-mata hak allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali.
   2. Hak hamba yang tetrkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak.
   3. Kompromi antara hak allah dan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina.
   4. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tatapi hak hamba didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishas (Syafe’i: 2007)
























BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
       Dari uraian pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1.Hakim (pembuat hukum) yang menurut para ulama ushul fiqih adalah firman Allah yang barhubungan dengan perbuatan orang mukallaf,baik itu berupa tuntutan,pilihan ataupun berupa hukum wadh’i. Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa Hakim adalah Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang di titahkan kepada seluruh mukallaf.
2.Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103) yang perbuatannya di kenahi khitab Allah SWT, yang di sebut dengan Mukallaf.
 Syarat-syarat Mahkum Alaih
• Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain
• Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Koto, 2006)
3.Mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal (Bardisi dalam Syafe’I, 2007: 317).
Syarat-Syarat Mahkum Fih
o Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.
o Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
  Macam-Macam Mahkum Fih
• Ditinjau dari keberadaannya secara material dan syara’ diantaranya adalah:
1. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’. Seperti makan dan minum.
2.      Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
3        Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa-menyewa.
B. Saran
    Adapun beberapa saran yang dapat kami sampaikan yaitu :
1) Agar para pembaca bisa mempelajari makalah yang kami buat dan mengerti isi serta ruang lingkupnya sehingga dapat diambil pelajaran dan diterapkan dalam kehidupan nyata.
2) Semoga para pembaca dapat mengkaji dengan baik dan bisa melengkapi kekurangan makalah yang kami susun.







































DAFTARPUSTAKA

Rifa’i Muhammad. 1973. Ushul Fiqih. Bandung : PT Ma’arief.

Abu Zahrah Muhammad. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta :Pustaka firdaus.

Syafe’i Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung:Pustaka setia.

Wahab khallaf Abdul. 2003. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta:Pustaka amani.

www.Ushul Fiqih.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar