Senin, 10 Oktober 2011

QAWA'ID

BAB I

  PENDAHULUAN
latar belakang

Fiqih islam merupakan system perundang –undangan ideal yang mengatur hubungan antara manusia dan rabb-nya , hubungan antara individu, masyarakat dan antar Negara dalam keadaan damai atau perang yang ditetapkan berdasarkan norma-norma yang bersumber dari kitabullah dan sunnah rasu-Nya

Dalam pengertian ini fiqih islam merupakan warisan berharga dan kekayaan besar yang sangat diperlukan dan tidak boleh di tinggalkan, maupun di sepelekan setatusnya.

Kaidah-kaidah fiqih( qawa’id fiqhiyyah ) merupakan instrument yang membantu seorang faqih untuk memahami masalah-masalah partikular dan masalah- masalah yang mirip dan serupa (al-asbah wa an-nazha’ir) didalam seluruh pokok pembahasan fiqih. Kaidah-kaidah ini sangat banyak dan bercabang –cabang Dan dari sinilah seorang mengkaji hukum islam.

Oleh karena itu mempelajari qawa’id fiqhiyyah ini merupakan keniscayaan bagi setiap orang yang menggeluti dunia fiqih, baik pada tataran khusus maupun umum .

Disini penulis akan mengajak pembaca mempelajari satu kaidah yaitu Addararu yuzalu, ini adalah satu kaidah dari sekian banyak kaidah fiqih yang dibahas oleh para ulama, mudah-mudahan hasil dari penulisan ini ada manfa’atnya.

     B. Rumusan Masalah
 Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai,berikut:
Apa konsepsi dari kaidah addararu yuzalu ?
Kaidah-kaidah apa saja yang terlahir dari kaidah pokok di atas?

     C. Tujuan .
            1.   Untuk lebih memahami pembahasan kaidah dengan lebih mendalam.
            2.   Untuk dapat merealisasikan dalam kehidupan.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Konsepsi Kaidah
 الضَّرَارُ يُزَاْلُ(Kemudhoratan itu harus di hilangkan)
Konsepei kaidah ini memberi pengertian bahwa manusia harus di jauhkan dari idhrar       ( tindak menyakiti )baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya pada orang lain.
Kaidah ini dipergunakan para ahli hukum islam dengan dasar argumentatif hadits Nabi saw yang diriwayatkan  dari berbagai jalur tranmisi secara Hasan
لاَ ضَرَرَ وَلَاضِرَاْرَ
Tidak boleh memberi mudarat dan membalas kemudaratan
As Suyuthi berkata banyak dari bab-bab fiqih terealisasi dari kaidah ini .
2. Kaidah-kaidah lain yang terlahir dari kaidah ini ialah:
     الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاْتِ( Darurat itu dapat memperbolehkan yang dilarang  )
Akan tetapi kaidah ini berlaku dengan syarat, kadar dari sesuatu yang di larang itu harus lebih rendah di banding dengan kadar daruratnya.
Contoh beberapa permasalahan yang muncul dari kaidah ini:
Diperbolehkan bagi seseorang yang sangat lapar untuk memakan bangkai.
Diperbolehkan menghilangkan keselek dengan arak.
Diperbolehkan membongkar kembali kuburan yang yang ketika di kubur mayit belum di mandikan atau tidak menghadap kearah qiblat atau di kuburkan di tanah atau dengan kafan yang di ghosob.
Yang dimksud dalam katagori darurat ialah keadaan seseorang yang mana apabila tidak mempergunakan sesuatu ia hampir atau akan binasa baik jiwanya ataupun anggota tubuhnya.
Adapun alasan syara’ dari kadar sesuatu yang dilarang itu harus lebih rendah dari kadar kedaruratan ialah untuk mengecualikan apabila mayat itu ialah mayat seorang nabi maka tidak boleh bagi oarng yang terpaksa untuk memakanya, kerna kadar kehormatan nabi itu lebih besar dan agung menurt pandangan syara’ dari pada keselamatan orang yang terpaksa. Dan masalah, apabila mayat yang telah dikubur belum dikafani maka tidak boleh dibongkar,  dikernakan kehormata mayit lebih besar dari pada mengkafaninya, yang mana tanah yang ada disekitar mayit sudah menjadi pengganti dari pada kafan tersebut.
2.مَا أُبِيْحَ لِلْضَرُوْرَاْةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا(Apa-apa yang diperbolehkan karena darurat harus dikira-kirakan dengan kadar kedaruratnya )
Kaidah ini  sangat erat kaitanya dengan kaidah yang di atas, artinya seseorang yang dapat dispensasi dari kaidah yang di atas tidak boleh sewenang-wenang menmanfaatkan kaidah tersebut, kerna kaidah ini sebagai pembatas dari kaidah di atas. 
Contoh beberapa masalah yang terkait dengan kaidah ini ialah :
Orang yang terpaksa memakan bangkai tidak boleh memakan kecuali hanya sekedarnya saja(untuk menyambung hidup), kecuali dia mempunyai dugaan masih menempuh perjalanan yang sangat jauh.
Boleh mengambil tumbuh-tumbuhan yang haram untuk memberi makan hewan ternak, akan tetapi haram untuk menjual tumbuh-tumbuhan itu untuk kebutuhan lain.
Di maaf bangkai yang tidak mempunyai darah yang mengalir yang terlempar kedalam air, akan tetapi tidak dima’af apabila dilempar dalam keadaan disengaja.

3.الضَّرَرُلَا يُزَالُ بِالْضَّرَر )Mudarat itu tidak bisa dihilangkan dengan mudarat yang lainya )
Maksudnya ialah seseorang tidak boleh menghilangkan kemudaratan pada dirinya dengan cara memperbuat mudarat pada orang lain.
Contoh permasalahan yang terkait dengan kaidah ini ialah:
Seseorang yang dalam keadaan terpaksa tidak boleh memakan makanan orang lain yang juga dalam keadaan terpaksa.
Seseoarang yang sangat lapar (akan binasa) tidak boleh memotong anggota tubuhnya jika pemotongan tersebut berakibat sama dengan tidak makanya dia.

4. Imam As Suyuthi berkata: Dari kaidah di atas lahir kaidah yang keempat
إِذَاْ تَعَارَضَ مُفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمَهُمَا ضَرَراً بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا  ( Apabila bertentangan dua kerusakan /kemudaratan ditinjau yang paling besar diantara keduanya dengan mengambil yang paling ringan)

Maksudnya apabila suatu pekara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan suatu tindakan bahaya lainya dan salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada yang lainya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan.
Dari kaidah ini lebih lanjut lahir sejumlah kaidah turunan dalam persoalan –persoalan mikro antara lain: Diperbolehkan memenjarakan seorang ayah jika ia menolak memeberi nafkah kepada anaknya, Namun si ayah tidak dapat di penjarakan jika ia terlilit hutang pada anaknya dalam hal selain nafkah, Hal itu dikarenakan penolakannya untuk memberi nafkah kepada anak akan mengakibatkan kematian si anak, dan ini jelas merupakan bahaya yang lebih besar dari pada kerugian memenjarakanya, sehingga bahaya tesebut dapat dihilangkan dengannya.Contoh lainnya ,kebolehan membedah perut mayat seorang perempuan untuk mengeluarkan bayi yang di kandungnya apabila ada kemungkinan bayi tersebut masih hidup.
5.دَرءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ  (Menolak kerusakan lebih didahulukan dari pada menarik kebaikan ) Artinya apabila terjadi pertentangan antara kerusakan dan kebaikan, maka harus didahulukan mencegah kerusakan .
Contoh permasalahan yang terkait dengan kaidah ini ialah:
Disyari’atkan boleh terlambat dari sholat berjama’ah dan jum’at dengan sebab sakit, takut dll.
Diperbolehkan berbohong ketika dapat membawa kamaslahatan seperti memperbaiki hubungan antara dua orang yang bertikai atau diantara suami istri.
Menurut As Suythi, sebenarnya kaidah ini kembali pada kaiadah sebelumnya( Diambil mudarat yang lebih ringan di antara dua mudarat.

      6.اَلحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ اْلضَرُوْرَةِ عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً (Kebutuhan dapat menempati posisi darurat, baik yang bersifat umum maupun khusus) Dalilnya adalah kebolehan transaksi slm. Mengingat praktik slm dibutuhkan dalam masyarakat, maka ia pun ditempatkan diposisi darurat, meskipun bertentangan dengan qiyas lantaran termasuk kategori jual beli barang yang tidak ada saat transaksi. Asy-Syar’I telah memberi rukhshoh(keringanan) didalamnya, meski pada dasarnya jual beli seperti ini tidak sah.

BABIII
PENUTUP
Kesimpulan.
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan :
1.    Mudarat harus dihilangkan dan manusia tidak boleh berbuat mudarat pada orang lain.
2.    Kaidah turunan yang muncul Antara lain
1)    الضَرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاْتِ
2)    مَا أُبِيْحَ لِلْضَرُوْرَاْةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
3)    الضَّرَرُلَا يُزَالُ بِالْضَّرَر
4)    إِذَاْ تَعَارَضَ مُفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمَهُمَا ضَرَراً بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا 
5)    دَرءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ
6)    اَلحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ اْلضَرُوْرَةِ عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً
 B. Kritik dan Saran.



DAFTAR PUSTAKA

1.Abdullah bin Sa’ad ‘ubbadi al-lahji, 2002 Idhohul qawaidil fiqhiyyah. Surabaya.
Al-hidayah
2.Abdul Aziz Muhammad Azzam, Prof.Dr, 2009 Qawaid Fiqhiyyah, Jakarta , Amzah
3.Nashr Farid Muhammad Washil, Prof.Dr. 1999 Al-Madkhalu Filqawaidil Fiqhiyyah wa astaruha fil Ahkami As-Syar’iyyah Surabaya .Al-hidayah


    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar